Configuration

"between the good and the bad is where

you'll find me reaching for heaven"















FrenshiPath

Daisypath - Personal pictureDaisypath Friendship tickers

Saturday, April 30, 2011

Charity for Gaza: A Struggle for Dignity

Hari Selasa lalu aku menghadiri seminar yang sekaligus penggalangan dana untuk Palestina berjudul "Charity for Gaza: A Struggle for Dignity". Acara itu mendatangkan beberapa orang relawan Indonesia yang ikut dalam aksi kemanusiaan Freedom Flotilla dengan kapal Mavi Marmara untuk Palestina pada tanggal 31 Mei 2010, ke Banda Aceh, yaitu ustadz Dzikrullah Wisnu Pramudya, dari Sahabal al-Aqsha, dan istrinya, ustadzah Santi Soekanto. Turut hadir juga Heri Riswandi, ketua BSMI Aceh.

Awalnya aku tidak berniat datang karena jadwalnya dari jam 2 siang, sedangkan aku juga hari itu punya kegiatan lain di kampus. Tapi kemudian, aku berubah pikiran berhubung ada info tambahan kalau acara itu akan  berlanjut hingga jam 6 sore, serta info (yang tidak jelas kebenarannya) bahwa sertifikat seminar penulisan juga bisa diambil di tempat itu.

Aku tiba di tempat seminar ini ketika jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ehem. Begitu sampai, kukira acara sudah selesai, karena dari luar tidak ada tanda-tanda keramaian, tapi demi melihat jejeran motor di parkiran gedung PEMA Unsyiah, aku berasumsi setidaknya acara memang masih ada.

Karena sudah terlambat dan ternyata ust. Dzikrullah juga tengah berbagi pengalamannya yang menegangkan saat diserang militer Israel, aku jadi malu sendiri (mana  orang-orang yang kukenal tidak kelihatan batang hidungnya pula) dan langsung ingin buru-buru masuk ruangan itu saja, dan karena aku juga orangnya pemalu (ehm), aku sempat kagok di pintu masuknya, sampai-sampai ada seorang cewek memanggil-manggil pun aku hampir tidak sadar. Rupanya dia mau menyuruh aku untuk menutup pintu ruangan seminar itu.

Si cewek: (pake isyarat tangan menunjuk pintu) "Itu ditutup saja" (bisiknya dari jauh)
Aku: (lagi grogi aseli, bicara pake bisik-bisik juga) "Eh, yang mana?" (sambil lirik sana-sini)
 "Pintu, maksudnya?" (sambil nunjuk-nunjuk pintu)
Si cewek: (angguk-angguk) "Ya, ditutup saja"
Aku: (masih belum pasti, nunjukkin ke pintu lagi) "Pintu, kan? Ditutup, kan?" (ini enggak pasti atau emang sotoy? eleuh-eleuh, aku udah tengsin banget, udah pengen duduk terus, malu banget gitu masih berdiri-diri di depan pintu masuk... TT.TT)
Si cewek: (masih sabar, angguk-angguk kepala) "Ya... pintunya, ditutup saja" (luar biasa kan ya, dia teteup sabar gitu ngadepin kesotoyan aku saat itu... hehe)
Aku: (langsung bergerak tutup pintu, cuman secara di depan si pintu ada beberapa sandal dan sepatu, mau enggak mau kupinggirin dah satu-satu, kan enggak lucu aja kalo sandal-sandal itu kutendang biar cepet selese kerjaan aku di muka pintu itu... jaim lah ceritanya... hehe)

Setelah membereskan urusan sandal dan pintu tadi, aku langsung duduk di area kosong dekat pintu, tapi terus aku pindah lokasi, soalnya aku baru sadar kalau aku duduknya memang pas sekali di samping pintu. Ahee. Males, kan, kalau nanti ada yang masuk lagi, aku malah harus memberi jalan (udah jelas lah!), maka aku memilih mundur beberapa shaf, dan duduk rapi di barisan belakang yang masih ada spasi. Barulah aku mendengar apa yang dikatakan ust. Dzikru secara penuh.

Sambil bercerita tentang kejadian di kapal Mavi Marmara, ust. Dzikru juga memperlihatkan rekaman video para relawan yang sudah bersiap-siap dengan pelampungnya menanti kedatangan Israel ke kapal mereka, saat-saat sebelum Israel tiba serta saat-saat penyerangan biadab oleh mereka terhadap para relawan, yang tidak ikut disita Israel berdurasi 16 menitan. Katanya, rekaman ini  (saat itu dipegang oleh ustzh. Santi) berhasil lolos karena saat diperiksa, tentara tersebut sempat teralihkan fokusnya ke relawan yang lainnya. Ah, Alhamdulillah sekali...

Rekaman ini durasi aslinya adalah 1 jam-an dan dipotong untuk menghemat waktu, dan juga telah tersebar ke banyak media, begitu jelas ust. Dzikru.

Beberapa kali rekaman ditayangkan, aku tidak sanggup melihatnya. Sehingga ketika ustadz mengatakan bagian video yang memperlihatkan korban-korban, aku harus menundukkan kepala. Belum-belum tayangan selesai, aku harus menahan air mata. Tidak ingin terlihat menangis di khalayak ramai, itu sudah jadi kebiasaanku. Begitu mataku sudah terasa basah, aku cepat-cepat menunduk. Ini juga salah satu alasan aku awalnya tidak mau hadir. Rekaman itu bisa seumur hidup menghantui pikiranku. Benar-benar tidak kuat.

Ketika akhirnya tayangan selesai, ustadz sempat bertanya, "Siapa yang hatinya panas melihat ini?", yang lalu ditanggapi oleh acungan tangan para peserta.

Kecuali aku.

Hatiku tidak panas, ustadz. Hatiku sesak.

Cuplikan kejadian di kapal itu saja tidak sanggup kulihat. Konon lagi, penderitaan rakyat Palestina.

Seandainya aku di posisi mereka, apakah aku mampu bertahan?

Membayangkannya saja, sudah menyesakkan dada.

Wallahu a'lam...

Only Human

The below lyrics is translated from 'Only Human' by K, a soundtrack of a Japanese drama '1 Litre no Namida or 1 Litre of Tears'. 

Personally, I like listening to this song since its melody and the lyrics itself are really wonderful pieces of work. But, if you especially hear the song while watching the drama, trust me, the scenes are unbearable to watch. The drama, as the title has spoken, is full of tears for it is really heartbreaking to witness.

The drama is adapted from a true story of a girl named Aya, who very suddenly was attacked by spinocerebellar ataxia (SCA) --a severe disease to which the cerebellum of the brain slowly deteriorates to the extent that the affected person cannot walk, speak, write, or even eat-- however, she still managed to survive by  sharing her thoughts in a diary --because apparently, ataxia doesn't affect the mind-- before the disease didn't allow her to write at all.

The efforts she made throughout her life were painful and heart-touching. To make it worse, the disease is not curable. Even so, her determination to stay alive was top-notch. 

The drama portrays all of her activities since the first time she knew the disease until she spent most of her life in hospital to get treatments.

Her understanding and acceptance of her fate is one of the reasons I truly admire her. She has written the journal of herself to bring others who share similar circumstances to not lose hope. 

Even if it may seem impossible.

------------------

It's said that there is a smile
On the opposite side of sadness

It's said that there is a smile
On the opposite side of sadness
Up ahead from where I'm going to arrive at
Just what is it that's waiting for me?

I should have set off, not to run away
But to chase my dreams, back on that far off summer day

If I could have even seen what tomorrow would be like, 
I wouldn't have been able to breathe
So now I move forward
In order to go against the current, like a boat

It's said that happiness waits
In places that have been consumed by sadness
I'm still searching for
A sunflower at the end of the season

If I clench my fists, and wait for the morning sun to come
After my finger nails became bloody, my tears would fall

If I've grown used to being lonely
By the moonlight
I'll fly away with my featherless wings
I'll move further on ahead

If a rain cloud bursts
Then the wet road will sparkle
That's what the darkness tells me
The strong, strong light
I'll move forward, and be strong

--------------

Thursday, April 28, 2011

Seminar yang OH-Senangnya-Hatiku-Saat-Itu...

Mungkin tidak banyak yang tahu, yang bahkan teman-temanku pun tidak... yah, wajar aja, wong aku posisinya terbelakang di hari itu. Jadi, memang wajar, tidak banyak yang tahu. Ditambah lagi, aku juga hampir tidak tahu. Haha. Hanya ustad Dzikrullah saja yang tahu, dan sadar kalau itu aku. Tanya kenapa???

Begini kronologisnya...

Di hari Minggu per tanggal 24 April yang lalu, aku berkesempatan mengikuti sebuah seminar kepenulisan (sedappp) bersama Salim A. Fillah dan bang Rahmatul Fitriadi, yang dua-duanya adalah penulis produktif versi dirinya masing-masing. Hehe. Maksudnya, Salim itu seringnya menulis buku yang bergenre non fiksi, nah, kalau bang Rahmat itu menulis buku bergenre fiksi. Begitu, lho...

Seminarnya dijadwalkan harusnya berlangsung mulai dari jam 8.30 untuk registrasi ulang peserta, maka aku pun bela-belain diri bangun pagi dan pakai baju rapi jali sebelum jam sekian. Tapi, sungguh tak disangka, aku sampai ke gedung AAC Dayan Dawood (TKPnya-red) sudah lewat jam 8.30. Lewat dikit gitu, deh. 

Memang aku punya jam karet, aku tidak berencana denial. Itu memang benar adanya. Namun demikian, aku tak lantas patah arang merintang jalan, aku tetap pede dan langsung menuju ruang Flamboyan ke bagian registrasi peserta (bareng temen aku juga, Nova, yang sudah sedari sebelum aku tiba sudah duduk manis di depan gedung AAC) dan mencatatkan nama. Aku pun masih dengan adegan slow-motion memasuki ruang seminar, dan mencari tempat duduk yang asyik bareng si Nova.

Mungkin ada yang bertanya, kenapa aku tetap santai walau sudah jelas-jelas terlambat begitu. Apakah aku tidak malu? Mungkin ada juga yang berpikir demikian. Biar kujelaskan. Aku tidak berencana terlambat. Tidak, tidak. Aku memang sengaja terlambat. Hehehe. Aku ingin menghindari pembukaan acara, apapun bentuknya. Yah, aku memang bukan tipe pendengar pembukaan yang baik dan benar. Jadilah, aku memilih santai dan bergerak lambat. *ngeles, padahal emang udah siput dari sononye... hedeh

Tetapi, memang malang tak dapat ditolak, untung pun aku tidak datang sesuai jadwal. Ternyata acaranya molor, sodara-sodara. Tahu tidak? Dikarenakan acara seminar ini akan dibuka oleh bapak wakil gubernur Aceh, maka meskipun aku tidak suka, kamu tidak suka, mereka juga tidak suka, acara terpaksa dimundurkan jadwalnya hingga bapak wagub tiba di TKP untuk olah perkara... eh, memberi kata sambutan. 

Sambilan menunggu si bapak wagub berhadir, SKALA pun dikerahkan untuk membunuh waktu dengan membawakan beberapa nasyid, seraya berbalas pantun di antara sesama mereka.

Kata si Daniel, lagu Maher Zain 'Allahi Allah Kiya Karo' itu ada versi Acehnya... 'bek karu-karu...' *Gubraks. Begitulah pikirnya yang ajaib itu. Memang luar biasa sisi kreatipnya itu. Hehe.

Jam 10 lebih dan kurang beliau minta maaf, bapak wagub pun tiba. Acara pun akhirnya resmi dibuka. Tepat jam 10.30. Setelah runtutan pembacaan doa, kata sambutan panitia, kata sambutan wagub, dan tepuk tangan peserta.

Aku ikut acara ini sebenarnya bukan karena aku suka buku-buku Salim A. Fillah atau karena bang Rahmat sudah menyebarkan info ini ke aku juga. Aku murni ikut karena tertarik menghadiri seminar yang berhubungan dengan penulisan, dan kebetulan sekali aku ingin tahu seperti apa Salim A. Fillah itu, karena setahuku dia banyak menulis buku dan best-seller pula. Sejujurnya malah aku belum pernah membaca satu pun karya Salim secara penuh. Yang ada juga aku cuma meng-scanning isi bukunya, tapi tidak benar-benar tahu apa yang dituliskannya. Karena yang aku sempat baca sekilas itu adalah bukunya tentang pernikahan, dan aku di masa itu bukan tipe yang suka membaca buku semacam itu. Belum perlulah, pikirku waktu itu. *tsaaah, padahal yang laen juga enggak... ngeles to be continued...

Walau begitupun, demi mendengar dia membawakan acara setengah harian itu, aku sedikitnya bisa menyimpulkan kalau dia memang pada dasarnya banyak membaca buku, sesuai pengakuannya sendiri. Yah, itu terbukti dari lancarnya dia mengaitkan satu topik dengan topik yang lain, plus dia juga piawai memainkan intonasi bicaranya. Sebuah kombinasi yang baik antara kemahiran berkata melalui tulisan dan lisan.

Acara dilanjutkan setelah break untuk shalat dan makan siang di rumah masing-masing. Aku pun segera pergi untuk kembali ke gedung AAC di jam 2 kemudian.

Sesi ba'da zuhur ini meliputi bincang-bincang bersama bang Rahmat (males kubahas apa yang dia bilang disini, abis kenal sih, hehe... ngeles comes back to life) dan sesi tanya jawab dengan bang Rahmat dan Salim A. Fillah.

Setelah sesi ini selesai, ternyata ada sesi tambahan, yaitu bagi-bagi hadiah pintu (gitu kata MC nya kok...) alias door prize. Aku juga turut gembira mengetahui hal ini. *ahay hay... dapet pintu... loh?

Hadiahnya adalah buku Salim A. Fillah berjudul 'Dalam Dekapan Ukhuwah', dan pertanyaan quis akan diberikan oleh Salim dan bang Rahmat. Rencana awalnya, gitu. Tapi, lalu berubah. Mereka ingin menganugerahkan tanya-jawab door prize ini untuk ust. Dzikrullah dan ustzh. Santi, yang merupakan relawan kemanusiaan untuk Palestina di kapal Mavi Marmara yang diserang Israel akhir Mei 2010 yang lalu itu.

Aku sempat kaget campur heran begitu mengetahui fakta itu. Kaget karena aku tidak menyangka bakal bertemu mereka secara live di Banda Aceh ini, dan heran kenapa mereka bisa hadir di acara seminar penulisan itu. Dari sepagian tadi, kan mereka tidak kelihatan di mana-mana. Jawaban atas kekagetan dan keherananku ini akhirnya terjawab dua hari kemudian.

Oke, back to the door prize. Begitu tahu kalau hadiahnya adalah buku itu, aku lantas menjadi lesu. Sedih hatiku mendengarnya. Hueheu. Bukan apa-apa, fren, aku sudah dapat buku itu karena aku membayar tiket seminar seharga 75 ribu, dimana itu sudah include sertifikat dan buku tadi. Kan, sangat tidak lucu kalau aku punya dua buku yang judulnya sama. Walhasil, aku cuma ikutan menjawab soal quisnya dari dalam hati. 

Di saat yang sama, si Uswah, adek leting aku yang duduk di sebelahku, ingin bisa menjawab quisnya karena dia belum punya buku tadi. Ujung-ujungnya, kita berdua khusyuk mendengar soal dari ust. Dzikru dan ustzh. Santi.

Soal pertama. Dari ust. Dzikru.
Ust. Dzikru: "Ulama ini telah bisa menghafal Qur'an dari umur 6 tahun..."
Belum habis soal diceritakan, peserta sudah kasak-kusuk mau menjawab. Dan, bagai sudah bisa menebak isi pikiran mereka, ustadz langsung memotong, "Ya, saya tahu, kalian mau bilang Imam Syafi'i, kan? Bukan itu yang ingin saya tanyakan," lalu menyambung cerita, "pertanyaannya, dimanakah Imam Syafi'i dilahirkan?"

Mampus deh gue. Yang aku ingat Makkah, karena garis keturunan beliau terhubung dengan Rasul saw. Dan, yang jelas dia tidak dilahirkan di sana. Aku pun hanya bisik-bisik tetangga dengan si Uswah tentang jawaban tersebut. Sampai akhirnya ada yang menjawab, "Di Gaza". Dan, ustadz tiba-tiba meneriakkan takbir. Ternyata, dia benar, sodara-sodara.

Soal kedua. Dari ustzh. Santi.
Ustzh. Santi: "Beliau adalah ahli sastra wanita yang terkenal di masa Rasul saw..." Nah, begitu aku mendengar cerita ini, sebenarnya aku sudah membisikkan nama "Khansa" ke Uswah, dimana aku berharap dia mau langsung tunjuk tangan. Cuma, gara-gara kasus soal pertama tadi, aku jadi urung, yah, kuatir saja kalau-kalau pertanyaan sebetulnya malah bukan tentang nama sang penyair wanita tersebut. Kemudian, setelah ceritanya disambung, "dia juga memiliki empat orang anak yang kesemuanya syahid di medan perang." Whuush. Hampir semua langsung menunjuk tangan, termasuk Uswah. Tapi, apa boleh buat. Karena kami terbelakang duduknya, kami pun hanya bisa ber-say goodbye dengan si buku.

Soal ketiga. Dari ust. Dzikru lagi. Plusnya adalah ada tambahan hadiah sebuah pin Sahabat al-Aqsha dari ustadz bagi yang bisa menjawab soal bersangkutan. Sangat menggiurkan.

Ust. Dzikru: "Ulama ini dilahirkan di daerah Palestina yang sekarang dikuasai Israel, dan berbatasan dengan Mesir..." Semua serius mendengarkan. Kayaknya bakal susah, nih. "Ulama ini mengarang sebuah kitab yang berhasil diselesaikan dalam waktu 29 tahun." Masih tidak ada yang mau sok-sok-an tunjuk tangannya. Kayaknya beneran susah, nih. "Siapakah nama ulama tersebut? Nama tempat kelahirannya juga merupakan namanya. Siapakah dia?"

Beberapa orang mengangkat tangan. Ada yang menjawab "Imam Syafi'i", "Imam Nawawi" dan entah imam-imam mana lagi yang telah disebutkan, tapi tidak dibenarkan oleh ust. Dzikru, sampai-sampai MC nya nyeletuk, "Ini semua imam udah kesebut, ya..."

Aku lantas mengarang-ngarang nama. Apa ada Imam Ramallah? Hehe. Maksa amat, ye...

Sedang aku berpikir keras-keras, ust. Dzikru lalu memberi bantuan clue... yah, mungkin dia sadar kalau pesertanya pada jarang baca biografi ulama-ulama. Ahee...

"Kalau saya kasih petunjuk, mau?" Yang langsung di jawab dengan koor peserta, "Mauuu..."

"Tapi, bukunya cuma dapat setengahnya..." Ah, ustadz, tega amat. Hehe.

Sang ustadz pun berbaik hati pada para peserta yang sudah hampir berputus asa tersebut. "Nama tempat kelahirannya ini, dalam bahasa Ibrani adalah Askelon..." Begitu nama itu disebutkan, sontak aku teringat ke seorang ulama, yang kitabnya aku miliki meski hanya versi ringkasan dari kitabnya yang sesungguhnya.

Aku pun dengan pede lumayan tinggi langsung mengangkat tangan, mengarah ke loteng ruang Flamboyan. Peserta yang lain pun turut serta mencoba peruntungan ini. 

Ust. Dzikru lalu mempersilakan seorang peserta di depanku untuk menjawab. "Imam Ghazali" begitu katanya. Aku sempat berharap agar jawabannya salah (hehe), walaupun aku masih tidak yakin kalau nama ulama dalam pikiranku itu adalah yang benar. Tapi, aku juga tidak bisa memikirkan nama lain, karena nama Askelon itu terasa sangat familiar. *tsaaah

Pun akhirnya jawaban dia masih tidak benar. Yang lucunya, begitu ustadz mengatakan jawabannya salah, rata-rata peserta menurunkan tangannya. Mungkin mereka menunggu ustadz memberi clue yang lain, atau mereka punya jawaban sama dengan si penjawab tersebut.

But. Not me. Hehe.

Aku masih dengan pedenya membiarkan tanganku mengambang di udara, dan ustadz itu pun menyadarinya. Lalu katanya, "Ya, itu yang pakai jilbab coklat." Nah, di bagian ini agak sedikit memalukan. Tapi tidak begitu disadari orang di sekitarku saat itu. Pas ust. Dzikru mempersilakan si "yang pakai jilbab coklat", aku sebenar-benarnya waktu itu sedang tidak ngeh. 

Hari itu aku pakai baju putih, dan jilbab coklat. Cuma, karena pada saat itu tanganku sedang terangkat ke atas, yang terlihat olehku yang dhaif ini adalah warna putih bajuku itu (ya iya lah!), maka begitu ustadz bilang 'jilbab coklat', aku pun bingung siapa yang dipanggil 'jilbab coklat'. Karena itulah, aku langsung lirik kanan-kiri untuk mengecek apakah ada orang lain yang mengangkat tangan juga, dan ternyata memang cuma aku, tok. Sadarlah aku segera, yang sang ustadz maksudkan adalah tak lain tak bukan, aku sendiri,... yang juga turut kusadari bahwa warna jilbab aku itu adalah... coklat. Bener-bener dah ingatan!

Dengan sisa-sisa rasa pede, aku menjeritkan nama ulama tersebut.

Aku yang pede: "Ibnu Hajar al-Asqalani" 
Ust. Dzikru: (kayaknya enggak dengar jelas suara aku, deh) "Siapa?"
Aku yang pede: (ulang lagi, volume dinaikkan sejerit-jeritnya) "Ibnu Hajar al-Asqalani!!!"
Ust. Dzikru: "Takbiiir..." (yang segera disambut gemuruh suara peserta meneriakkan 'Allahu Akbar')

Karena tiba-tiba begitu teriakan takbirnya, aku kaget setengah mati, itu tandanya benar atau salah, ya?

Ah, benar ternyata, soalnya ustadz jadi menjelaskan tentang Ibnu Hajar al-Asqalani dan kitab Bulughul Maram nya yang dikarang lebih dari 20 tahun itu (selain dari kitab Fathul Bari nya yang juga terkenal itu). Heuheu... aduh, aku jadi senang sekaligus terharu begitu menerima hadiah pin dan buku itu.
Tidak dinyana, bahwa pengetahuan aku yang sudah usang itu dapat membawa berkah hadiah pin yang berhubungan dengan Palestina. Dan, lebih tidak disangka, ternyata Imam Syafi'i dan Ibnu Hajar al-Asqalani adalah kelahiran Palestina.

*ugh, gini nih kalau bacaan dulu dilupakan... ingatan makin lama makin gak setia aja nih... TT.TT

Setelah door prize berlalu, secara resmi acara pun berakhir.

Dan, seperti yang sudah kuinformasikan di awal, seminar ini menghadirkan penulis Salim A. Fillah yang bukunya tersedia di acara tersebut. Maka, sudah pasti, kita pada ingin tanda tangan sang penulis di buku karangannya sendiri. Karena tadi aku juga dapat buku pas door prize, aku kasih saja ke Uswah itu buku. Dan, kami pun ikutan memburu tanda tangan.

Aku maunya tanda tangan penulis di pinggir buku, bukan di halaman depan kayak biasanya. Nah, karena aku tidak berani kena pelototan dia (hehe), aku minta help sama bang Rahmat. Minta tulung, supaya Salim mau tanda tangan di pinggiran buku.

Bang Rahmat: "Ini, Salim, ada yang minta tanda tangannya di pinggir sini saja."
Salim: "Eh, di sini? Wah, menyulitkan ini." (sambil tanda tangan)
(si aku tidak berani muncul, hanya berdiri di balik pintu, sambil sesekali intip ke dalam ruang... takut ditandain sih, jago kandang soalnya. hehe)
Bang Rahmat: "Oh, memang. Dia itu memang menyulitkan orangnya. Hehe."
(jiah, si bang Rahmat, dia pake bicara jujur lagi. hedeh, deh)

Begitulah, tanda tangan itu pun didapat dengan mudah dan tidak payah. *Tengkiu, bang!

Aku pun pulang dengan hati lapang.

.:Selesai:.

hohoho... gue dapet pin gratis tis tis... *pura-puranya begema...
kalo gini, jadi gak keliatan kalo ini tanda tangan penulis bukunya... hedeh, salah sendiri tuh...
buku ini hasil seminar
inilah hadiah bisa jawab soal door prize, asik, asik...

Even If It Were Just a Pretense

If you don’t always pay attention
To the things near you
They’ll get too close
And you’ll seem to lose sight of them

What in the world was the happiness
That you experienced recently?
You just might be feeling too blessed
And unable to recall it!

The fact that I’m here
The fact that I’m breathing
With just those facts alone
I realize that they’re miracles

If you don’t always pay attention
To the things near you
They’ll get too close
And you’ll seem to lose sight of them

You know the closer you get to something
The tougher it is to see it
And I’ll never take it for granted

Let’s go!

There are those who call
Helping others a hypocrisy
But it’s up to each person
To believe or to doubt

Even if it were
To be hypocrisy
If you could save someone
Then it’d be more realistic than anything

It’s a dream that you kept on chasing
You can say a pretty thing
Like “move forward without giving up”
But you can’t do it

Have a handful of courage in your chest
For the sake of surviving tomorrow
And I’ll never take it for granted

--------------------

Wednesday, April 27, 2011

Kami Bukan Sampah!!!

Pertemuan kami di suatu malam itu tidak sempat kami dokumentasikan, sehingga tidak ada bukti fisik yang bisa diperlihatkan ke semua.

Tapi akhirnya, kami berhasil menyusun waktu di hari Minggu, tanggal 17 lalu, bersama beberapa teman yang lain untuk bersua kembali dengan dua anak kecil yang kami temui malam itu, Yuna dan Zahra.

Rumah yang kuceritakan di postingan lalu itu merupakan rumah Yuna, sehingga ketika kami kembali ke daerah itu, tentu saja kami menuju rumah Yuna terlebih dahulu.

Karena awal kami ke sana di malah hari, maka tidak begitu kentara rasanya keadaan tempat tinggal mereka. Namun, begitu di sore Minggu itu kami mengobservasi lingkungan tinggalnya, suasananya sungguh tak terbayangkan.

Bagaimana bisa, orang-orang tinggal di lingkungan tersebut. Bayangkan saja, lingkungan tinggal mereka adalah kawasan TPA alias tempat penampungan akhir seluruh warga kota Banda Aceh kita tercinta ini, yang dipusatkan di Kampung Jawa.

Aku tidak bisa memikirkan bagaimana seorang anak seperti Yuna dan Zahra itu terlahir di sini, bertetangga dengan aroma sampah yang memenuhi udara. Kemudian tumbuh besar bersama para sampah, lalu menggantungkan kelangsungan hidup dari tumpukan sampah-sampah tersebut.

Mereka menyandingkan diri dengan sampah. Mereka terbiasa dengan sampah. Dan, mereka bahkan bak sampah itu sendiri. Terbuang dan tersiakan. Terlupakan.

Tapi, tentu saja. Aku tahu, dan kau pun tahu. Bahwa mereka bukan sampah.

Mereka adalah kepingan-kepingan kehidupan yang terlepas dari asalnya.

Menunggu kepingan-kepingan lain menyadari nasib mereka, dan mengajak mereka kembali. 

Ke asalnya.

inilah rumah Yuna yang sempat kami singgahi di malam itu
potret kehidupan anak-anak di sana
lihatlah, sampah botol bertumpuk di sisi rumah mereka
ini adalah rumah Zahra, anak kecil yang kami jumpai di malam itu
kami berbicara cukup lama dengan orang tua Zahra



jalanan di sekitar rumah mereka
mereka masih dapat berkompromi dengan kacaunya keadaan
kami juga sempat berbincang dengan para tetangga
sebuah pemandangan yang cukup kontras: motorku dan rumah mereka...

Tuesday, April 26, 2011

Shopping Experience at Insadong: Day 26, April 2009

Belanja di Insadong berlanjut di keesokan harinya, hanya saja kali ini bersama teman yang lain, Akiko, dari Jepang juga. Dan bedanya lagi, si Akiko mengajak serta seorang kenalannya yang asli Korea.

Edisi belanja yang ini tidak dalam rangka membeli oleh-oleh atau semacamnya, namun lebih mengarah ke jalan-jalan sekaligus cari makan yang murah meriah. Hehe.

Ditambah lagi, rute yang kami jalani sudah merambah kawasan yang lebih luas, cuma karena aku punya ingatan yang agak tidak setia, maka, nama-nama kawasan tersebut  pun jadi menghilang bersama waktu. (deuuu)

Tapi, ternyata festival lampionnya juga masih ada, terbukti dari jejeran lampion-lampion di sepanjang tali-tali yang kemarinnya berhasil kupotret.

Kemudian, pas kita sedang acara makan-memakan di sebuah kafe (dengan harga murah pastinya, hehe), aku sempat mengabadikan suasana jalanan Insadong dari atas. Demi melihat keramaian seperti itu, ternyata jadi keasyikan tersendiri, lho. 

Kita bisa mengamati tingkah polah anak manusia dari sudut pandang vertikal, tidak horizontal seperti biasanya. Kita jadi seolah-olah mengetahui apa yang mereka kerjakan, tapi, mereka tidak sadar kalau dirinya tengah diperhatikan. Benar-benar seru. Percaya, deh!

*Asal jangan posisinya dibalik saja, hehe.


deretan toko-toko dengan desain yang kreatip abisss






masih terlihat festival lampionnya



mereka ini lagi buat adonan Ttok, kue ketan yang mirip sama mochi




keramaian dari atas kafe



ini kecap... *ga penting banget ya dipoto juga.. hhe

ini side-dish gratis tiap kita pesan makanan di kedai-kedai di Korea

kafe ini majang semua foto-foto di dindingnya... keren kan?
 

ini gerbang penanda batas Insadong
si anak kecil ini pengen nyoba buat adonan Ttok... yang kuat numbuknya ya, dek... hehe

Akiko (kiri) dan temen Koreanya (lupa nama, maap ya...)







sepatu yang dipajang gini aseli bikin iler... cuma, hak nya itu, lho, ampuuun dah...

Monday, April 25, 2011

Shopping Experience at Insadong: Day 25, April 2009

Di hari ini, 2 tahun yang lalu, aku berkesempatan mengunjungi Seoul, Korea. Dan, jelang hari-hari seorang temanku yang dari Jepang, Yoko, pulang kembali ke kampung halamannya, kita berdua jalan-jalan mencari oleh-oleh khas Korea di Insadong, sebuah kawasan yang cukup terkenal dengan suvenir-suvenir antik dan unik buat oleh-oleh wisatawan mancanegara. *Asal pinter nawar aja, pasti bisa dapat harga yang cocok...

Di sepanjang jalanan Insadong, para pedagang menjajakan barang-barang dari berbagai jenis, mulai dari manisan, gantungan kunci, kartu pos, topi, baju-baju, kerajinan tangan, boneka-boneka, dan entah apa lagi yang tidak sempat aku sortir satu persatu, tersedia di sana. Dan, kebanyakan harga barang-barang tesebut tergolong murah.

Namun, selain itu, ada juga toko-toko yang menawarkan barang yang lebih ekslusif, dan mahal, tentu saja. Kadang, karena barangnya termasuk jenis unik dan antik, maka harganya pun bikin keder yang dengar. Berat di ongkos, euy...

Tempat ini juga merupakan perpaduan masa lalu dan masa kini, sehingga masih banyak bangunan atau toko atau restoran yang punya arsitektur jaman baheula, tepatnya periode Joseon.

Kebetulan juga di hari itu tengah ada festival lampion, yang kalau tidak salah merupakan perayaan Budha dimana salah satu kuil Budha yang terkenal terletak di dekat pasar itu.

Si Yoko sendiri, akhirnya membeli baju-baju bersablonkan tulisan Korea, dan beberapa gantungan kunci ala Korea.

Kalau aku sendiri sih, lebih suka window-shopping saja, berhubung aku pulang kampungnya masih sebulan lagi.

Yang jelas, pasar rakyat ala Insadong ini benar-benar bikin iri... jalanannya bersih dengan pedagang yang tidak suka mencolek-colek (pengalaman pribadi, sih) atau memanggil-manggil asoy...

Kapan ya, di Indo Raya punya pasar kayak gini? *bedoa dimulai...




 
 

kedai dengan bangunan tempoe doeloe
 


lukisan di atas kertas Korea

toko dengan bangunan masa kini

toko Insadong tampak depan
 
ini rumah makan...
 
ini juga rumah makan, lho, sangkar burung itu buat aksesoris doang...
 
 

 
lagi ada festival lampion




 

ini nih, yang jualan di kaki limanya Insadong...



ukiran kayu dengan berbagai emosi






kue-kue dan manisan Korea



lampion di sepanjang jalan kenangan, kita selalu bergandeng tangaaan... *lho?

mau sok-sok-an jaman doeloe gituh... hehehe