Configuration

"between the good and the bad is where

you'll find me reaching for heaven"















FrenshiPath

Daisypath - Personal pictureDaisypath Friendship tickers

Thursday, June 30, 2011

A Blessing in Disguise

Ya... dibalik setiap kejadian pasti ada hikmahnya... a blessing in disguise... apa yang kita kira buruk, ternyata akhirnya tidak seburuk yang kita duga. 

Ia hanya sedang mengenakan busana yang berbeda. Pada hakikatnya ia mengandung hal yang sama. Tinggal menunggu waktu saja.

A blessing in disguise.

Aku hanya yakin bahwa apapun itu, kalau itu termasuk rezeki kita, maka kita cuma butuh kesabaran saja untuk menanti terwujudnya ia menjadi nyata.

Termasuk, kabar yang cukup membuatku 'terharu' itu.

Di Senin lalu, aku dihubungi pihak penyelenggara beasiswa yang aku ikuti berbulan-bulan yang lalu. Katanya, aku dinominasikan mendapat beasiswa melanjutkan S2, bila aku masih berminat. *wah, jelas saja aku masih amat sangat berminat... hehe

Sebenarnya, setelah seleksi interview aku yang cukup 'mengenaskan' itu, aku sudah tahu bahwa aku 'gagal'... dan memang begitulah kenyataannya.

Aku menerima hasil seleksi beasiswa tersebut yang menyatakan bahwa aku tidak 'successful' di periode kali ini.

Dan, karena aku memang sudah mengira itu sebelumnya, yah, berita itu kuterima dengan sangat lapang dada. Toh, bukan itu saja beasiswa yang tersedia di muka bumi ini, kan? hehe

Lalu, tak berapa lama, tiba-tiba masuk sebuah email dari pihak penyelenggara tersebut yang menyebutkan bahwa aku dinominasikan dalam 'reserve list' kandidat penerima beasiswa tadi, dan bila bersedia di'bangku cadangkan' begitu, aku diharapkan mengirim email konfirmasi ke mereka. 

Dan, tentu saja, tanpa menunggu lama email itu langsung kubalas dengan gegap gempita, dan kunyatakan kalau aku amat sangat bersedia dimasukkan dalam daftar tadi, meskipun hanya cadangan. 

Waktu itu aku hanya sempat berpikir, ah, mungkin inilah yang disebut 'second chance'... dan mungkin dalam kesempatan yang langka ini, Allah masih memberi jalan menuju beasiswa tersebut. 

Sehingga ini juga kuterima dengan lapang dada.

...

Email konfirmasi itu aku terima sekitar bulan Februari, dan hingga minggu lalu aku tidak menerima kabar apapun dari pihak beasiswa tersebut. Aku pun hopeless, dan beralih ke beasiswa yang lain lagi.

Hopeless karena probabilitas mundurnya kandidat inti itu sungguh sangat minim sekali... mungkin sekitar 1/100. Malah adikku sempat nyeletuk, mana mungkin ada kandidat yang mengundurkan diri setelah bersusah payah ikut seleksi beasiswa yang termasuk paling diminati itu?

Aku pun setuju dengan kata-katanya. Kandidat yang mundur? Itu hampir mustahil!

...

Namun di akhir bulan Juni ini, pada Senin beberapa hari yang lalu, aku mungkin harus mencabut pernyataanku tentang kemustahilan ada kandidat yang mengundurkan diri.

Pihak penyelenggara beasiswa itu menelponku dan memberi tahu bahwa aku bukan 'reserve list' lagi, tapi sudah menjadi 'awardee'!! Ugh, I was almost blank. Kaget, surprise, ah, aku terkejut banget.

Begitu dikatakan bahwa mereka telah menjadikan aku salah satu awardee, aku sempat tidak percaya. Aku malah menyangka ada yang mengerjai aku dengan membawa-bawa nama penyelenggara beasiswa tersebut. Aku juga sempat bertanya lagi untuk memastikan mereka benar. *yah, anggap saja aku paranoid... hehe

Setelah konfirmasi untuk kesekian kali, akhirnya mereka memberi tahu bahwa bulan Agustus nanti aku harus ikut program bahasa Inggris mereka selama 2 bulan, dan di bulan Januari 2012 aku akan menuju negeri mereka untuk studi S2-ku kemudian.

Haaaahh... hampir saja aku berurai air mata begitu selesai berbicara dengan mereka. Aku juga langsung ber-alhamdulillah, bersyukur sekali dalam hati, dan rasa haruku begitu membuncah... Cuma, karena saat itu aku sedang di lobby sebuah hotel, maka sudah otomatis air mata itu tidak boleh keluar. Heuheuheu... disimpen buat nanti saja lah...

Orang pertama yang kuberi tahu... ya, adikku, Fuad... biasalah buat promosi ke dia kalo aku dapat beasiswa... hehe. Eh, dia justru ngingatin aku ke isu sensi itu... dia bilang, "Ya udah, selamat aja lah udah dapat beasiswa, asal entar pulang dari sana jangan lupa bawa pulang piagam..." terus, karena enggak nyambung, aku tanya lagi apa tuh maksudnya 'piagam'.

Nah, mungkin memang sebaiknya aku enggak nanya-nanya begitu, karena jawabannya bener-bener bikin aku tepar... "Ya, suami-lah. Jangan cuma nyari S2, nyari suami juga... makanya jangan ketinggian pasang kriteria..." Hegh. Aku tertohok. Padahal sebenarnya enggak gitu-gitu banget deh... ugh, kadang-kadang aku jadi curiga, jangan-jangan dia tuh 'adik yang tertukar?' kayak yang di sinetron-sinetron tivi itu.

Udah itu, aku nelepon temanku, Silvi, dan aku nyeritain berita yang aku dapat barusan... dan ini yang bikin aku makin enggak enak banget.

Kita berdua sedang terlibat sebuah 'proyek' yang kita niatkan untuk kebaikan umat. Kemarin itu dia juga dapat beasiswa S2 ke Taiwan, yang kemudian dia batalkan karena beberapa hal, diperkuat lagi karena dia ingin lebih fokus ke 'proyek' kecil kami ini.

Awalnya, aku kira akan mencoba lagi beasiswa lain yang akan buka di bulan Agustus nanti, jadi sementara ini aku juga bisa fokus dulu di program kami, dan kemudian setelah organisasi kami solid, aku akan bisa fokus ke S2-ku.

Ternyata, rencanaku itu harus berubah, dan menjadi lebih cepat pergeserannya.
Dengan datangnya tawaran beasiswa S2 ini, aku sudah barang tentu akan segera meninggalkan kota ini untuk sementara waktu, dan juga program kami.

Dan, bila sesuai dengan rencana dari pihak penyelenggara, maka aku akan meninggalkan kerja-kerjaku itu yang masih belum sempurna di belakang hingga selama kurang lebih 2 tahun.

Huft. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap.

A blessing in disguise.

Meski mungkin aku akan pergi sejenak, tanpa tahu perkembangan nasib 'proyek' kecil kami, aku sangat yakin bahwa di setiap kerja kita, akan ada hikmah yang selalu mengiringinya.

A blessing in disguise.

Apapun itu, pasti Allah Maha Tahu apa yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya.

Aku hanya berharap, dalam setiap pilihan hidup yang kujalani, aku bisa selalu merasakan hikmah yang bisa membantuku memahami arti perjalanan hidupku yang sekarang ini.

Sepenggal cerita tentang aku dan beasiswa itu hanyalah sebuah rangkaian kecil yang akan menyambungkan dirinya dengan rangkaian-rangkaian lainnya... yang kemudian bisa membuka mata hati kita tentang rupa rangkaian itu seutuhnya.

A blessing in disguise...
Is a good thing you don't recognize at first... 
But, you will soon.

Monday, June 27, 2011

I was in Disbelief...

for about 1/60 seconds away...

Aku menolak untuk percaya, dan memastikan banget-banget kalo yang aku dengar tadi itu bener-bener S-E-R-I-U-S.

Dan yang paling penting adalah bahwa yang dijadikan topik pembicaraan itu A-K-U... yup, aku. Bukan orang lain. Dan juga itu... bukan telepon kaleng... *coba kalo iya, bakal aku voodoo dah... hehe

Ah, rasanya pengen bilang ke seluruh dunia kalo aku... such a lucky girl in the universe... huhuhu... I thank God for all these things to happen upon me... ternyata, segala kedodolan yang menyelubungi diriku masih dimaafkan, dan bahkan Allah has granted me with a great opportunity I couldn't imagine to realize...

Tapi, aku masih belum berani promosi berita tadi di blog ini... secara, masih belum pasti, dan masih perlu konfirmasi... heuheu... semua masih kabur... dan kalo enggak jadi, seenggaknya aku masih bisa nahan malu di sanctuary-ku tercinta ini... (^^)''

Aku cuma ngasih tau adek aku, en temen dekat aja dulu... soalnya kalo enggak jadi kan, aku cuma perlu kasih tahu mereka doang...

Nah, kalo seluruh dunia tau? Apes dah... paling parah mungkin aku bakal harus ikut program perlindungan saksi ala FBI, ganti identitas, ganti tempat tinggal... pokoknya say goodbye to old days lah... *kesannya drama banget ya? haha...

Eniwei... aku akan terus, dan terus berdoa... so that Allah blesses me and all the dreams I have now and in the future... Amiiin...

Wednesday, June 22, 2011

Doodle... by Google

http://www.google.co.id/logos/2011/murakami_winter-hp.png


And so, Google has shown me a cute and funny doodle doodled by Takashi Murakami. 
Apparently, this is to celebrate the First Day of Winterrr... 
Wheeew, it makes me remember the first time I saw Snow falling from the Sky. 
Right after I got up, outside my windows the snow flakes slowly descended from above... 
wah, such a pure morning I had that time!
Beautiful, all over the day...

The Coming Day of Tomorrow

Currently like listening to this song after watching the anime, Kobato... hehe, and the lyrics I posted here is already hard-subbed in the anime.

------------------

The flowers that bloom during Spring
And the endless sky of Summer
Are both brilliantly engraved into my heart

Even on rainy days with the windows closed,
The overflowing light in my heart soars in the sky

Please guide me,
O' faraway voice,
Like smiles... like songs...
It's the sound of the wind resonating

Whether it's happiness or sadness,
I'll shoulder it all and strive forward

These are the things we both hold in our hands

On the shore in the Autumn, in Winter,
Sleeping in the treetops
The endless kindness of this world


As night falls
Let us offer our prayer
And silently greet
The day to come tomorrow

-------------------
Song: Hanazawa Kana 'Ashita Kuru Hi (The Coming Day of Tomorrow)' Kobato Insert Song
Lyrics credit to: Kobato Translating Team

Monday, June 20, 2011

Lir-ilir, Hiduplah Bagai Air Mengalir...

Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar

Cah angon, cah angon 
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno 
Kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro, dodotiro 
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono, jlumatono 
Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane 
Yo surak'o, surak hiyo… 

Tembang tradisional di atas kerap dilantunkan olehku dan teman-teman sepermainan waktu masih bocah dulu. Persisnya saat aku masih sekolah di sebuah TK di Yogya. Sayangnya, aku tidak begitu ingat jelas apa permainannya, karena itu terjadi kala aku masih sangat imut sekali (ehm).

Seingatku, tembang itu kami nyanyikan sama-sama sambil bermain macam-macam. Mungkin, karena begitu seringnya kami melantunkannya, aku samar-samar masih mengingat beberapa lirik tembang tadi.

Hanya saja, aku tidak hapal seluruh bait syairnya, sehingga aku mencoba bertanya ke ibuku, yang kemudian mengaku tidak hapal juga, yah, akibat faktor usia mungkin... hehehe.

Akhirul cerita, aku mencari lirik lengkapnya di Google. Dan, sungguh mengagumkan, ternyata ada banyak situs yang menyebutkan tembang tersebut... beserta artinya.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau dolanan yang kami bawakan saat kecil dulu ternyata mengandung makna yang begitu dalam. Dan bahwa sebenarnya, tembang tersebut digubah oleh para Walisongo yang masyhur di tanah Jawa. Namun, tidak diketahui secara pasti Wali yang mana yang telah menciptakannya, karena sumbernya sangat kabur. Ada yang menyebut Sunan Bonang, atau Sunan Kalijaga, atau Sunan Ampel, tapi yang pasti, semua Walisongo tersebut menjadikan dolanan ini sebagai alat penyebaran Islam di tanah Jawa.

Para Walisongo memang terkenal suka menyebarkan Islam di Jawa dengan media budaya atau instrumen, seperti gambelan. Hal ini sangat efektif mengingat masyarakat Jawa menyukai musik dan tarian, sehingga Islam bisa diterima dengan tanpa paksaan.

Lalu, dolanan anak-anak juga merupakan cara para Walisongo untuk mengenalkan Islam, terutama di kalangan anak kecil. Salah satunya adalah tembang di atas, yang berjudul "Lir ilir".

Lir ilir ini punya arti yang kuat bila kita ingin mengurai per kata syair lagunya. Dan bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih begini: 

Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau 
Bagaikan gairah pengantin baru

Anak penggembala, 
tolong panjatkan pohon blimbing itu
Walaupun licin(susah)
tetap panjatlah untuk mencuci pakaian

Pakaian-pakaian yang koyak(buruk)disisihkan
Jahitlah, benahilah, untuk menghadap nanti sore

Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…

Dan, bila kita ingin membedah makna simbolik yang tersebut dalam tembang Lir ilir ini, maka akan kita dapatkan maksud sebenarnya dari para Walisongo dahulu dalam usaha mereka menyebarkan Islam ke semua lapisan masyarakat.

Simbol-simbol yang tercantum seperti cah angon atau temanten anyar, merupakan kiasan para Wali untuk merujuk pada hal-hal dalam masyarakat, dan juga karena para Wali sangat mengerti psikologi orang-orang Jawa yang cenderung menggemari simbol-simbol.

Dengan cara ini, para Wali telah mendekati hati masyarakat dengan menyusupi relung-relung jiwa mereka secara tidak langsung agar memahami Islam dan mengamalkannya selalu senantiasa.

Di bawah ini adalah uraian singkat mengenai lirik dalam dolanan anak "Lir ilir" yang aku kutip dari sebuah blog. (terima kasih buat dnuxminds@wordpress.com atas deskripsi sederhana yang sangat informatif dan bermanfaat ini)

  • Makna tembang 'Lir ilir'

Ilir-ilir, Ilir-ilir, tandure (hu)wus sumilir
Terjemahan: Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi

Penjelasan: Para Walisongo mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam dari para wali.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
Terjemahan: Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru

Penjelasan: Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.

Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi
Terjemahan: Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu

Penjelasan: Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun Islam dan sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan oleh para Wali untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu.

Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira
Terjemahan: Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodotmu

Penjelasan: Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara/saat-saat penting. Dan buah belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan sebagai pencuci kain, dan terutama untuk merawat kain batik supaya tetap awet.

Dengan kalimat ini, para Wali memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.

Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
Terjemahan: Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek

Penjelasan: Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.


Dondomana, jlumatana, kanggo sebo mengko sore
Terjemahan: Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gusti-mu) nanti sore

Penjelasan: Sebo artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh karena itu disebut ‘paseban’ yaitu tempat menghadap raja. Disini para Wali memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah swt. di hari akhir nanti.

Mumpung gedhe rembulane, mumpun jembar kalangane
Terjemahan: Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang

Penjelasan: Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan, perbaikilah kehidupan beragamamu.

Ya surak'o, surak hiyo
Terjemahan: Mari bersorak, berteriak... Ayo

Penjelasan: Disaatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa, maka, sudah sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan beragama-nya dengan baik untuk menjawabnya dengan gembira.

Demikianlah petuah dari para Walisongo lima abad yang lalu, yang sampai saat ini pun masih tetap terasa relevansinya. Semoga petuah dari para Waliyullah ini membuat kita semakin bersemangat dalam menjalankan ibadah kita di bulan yang penuh rahmat ini. Amin, amin, amin.
(credit to: dnuxminds@wordpress.com)

Thursday, June 16, 2011

Gerhana Bulan dan Geraham Bungsu...

Persamaannya: 
Sama-sama disingkat GB atau sering disebut juga 'Ghadul Bashar'. *gubraks

Perbedaannya:

  • Gerhana Bulan, dinanti-nanti orang, terutama kaum potograper, baik yang amatiran (kayak saya) maupun yang profesional (kayak Pak Darwis Triadi).
    Terutama juga, buat kaum muslimin dan muslimat, yang ingin menunaikan shalat gerhana...selama mungkin, berhubung ada isu yang beredar kalo lama gerhana ini bisa mencapai 100 menit... dan mungkin adalah yang terlama dalam 100 tahun terakhir ini. (crosscheck: koran tetangga sebelah)
  • Geraham Bungsu, sebaliknya, tidak dinanti-nanti orang, dan kebanyakan malah ingin menghindarinya akibat dari efek emoh tumbuh secara normalnya yang membawa dampak bagi penderita untuk segera menghadap dokter gigi, serta segera melakukan operasi pembuangan geraham tersebut untuk selama-lamanya.
Abnormalitas tumbuh si geraham bungsu ini (yang entah mengapa malah disebut sebagai wisdom teeth dalam bahasa Inggris) dikenal sebagai impaksi gigi. Impaksi ini timbul karena gigi mengalami kesulitan untuk muncul ke permukaan akibat terhalang gigi di depannya atau padatnya jaringan lunak/tulang di sekitarnya. Geraham ini muncul dengan posisi dan arah yg tidak normal atau hanya muncul sebagian.

Dan, sementara orang-orang menanti kemunculan GB[ulan] dengan hati cerah-ceria meski hujan sedang melanda kota, aku di sini mengalami hal yang kontras dengan mereka.

Di sinilah aku saat ini, dengan kondisi tiga GB[ungsu] (yang satu udah innalillahi...) mengalami impaksi. Oh, sungguh situasi yang bisa memancing emosi diri. 

Aaarrrghh.

Aku enggak mau ketemu dokter gigi lagiiii... Gimana caranya???

Asal usul mula ceritanya, keempat (kenapa harus empat-empatnya sih???) geraham bungsu aku tuh ternyata enggak mampu bangun gitu (mungkin karena kurang kalsium ato juga pengaruh pola makan aku yang cenderung senang yang lunak dan gampang dikunyah, ehehe) dan jadi cuman sanggup munculin dirinya sebagian... dan lalu, akibatnya kemudian hadirlah lubang di gigi ini. Nah, lubang tadi kan akhirnya mengganggu saat-saat makan, karena waktu proses pengunyahan itu pasti ada makanan yang berhasil nyempil ke lubang tercela itu.

Jadi, beberapa taon lalu, satu geraham bungsuku udah berakhir masa baktinya di kursi pesakitan, dan sukses membuat aku enggak bisa ngomong jelas dan makan enak selama lebih dari 2 minggu. Ehem, jadi penyembuhan aku emang lebih lambat dari kebanyakan manusia, jadi harap maklum aja... hehehe

Walopun gitu sedihnya aku, yang bikin hati senang dan pengen ngejitak tuh justru karena adek aku, Fuad, yang begitu aku siap operasi gigi langsung nawarin makan bakso. Benar-benar adek yang ngerti cara menyenangkan hati saudaranya. Ckckck.

*sambil ngecek primbon mantra-mantra penghilang gigi tanpa rasa sakit dan operasi, kali-kali aja keselip di pojokan pondokannya mbah Google.

Wednesday, June 15, 2011

The Future Only God Knows



It's inevitable that I yearn for tomorrows,
For I believe that something is about to happen.

Thinking of it is enough to make my heart goes... 
thump, thump, thump.

Even so, I can't predict what that is,
Nor do I know how it will turn out to be.

Yet, the feeling of facing an unavoidable future
is getting me more and more anxious, than ever.

Sunday, June 12, 2011

Kumparan-kumparan Pikirku

Dulu, aku gak pernah merasa kalau hidup itu akan seribet dan serumit ini.

Bahkan, aku rasa, pasti tak ada satu rumus ilmu manapun yang bisa memberi solusi atas pertanyaan “Mengapa kita selalu seperti berada dalam sebuah labirin?”

Kita telah berada di tengah-tengahnya tapi…, dinding-dinding itu terlalu gelap dan tinggi, sehingga kita tak mampu melangkah lebih maju lagi selain dengan mengandalkan rasa percaya diri dan kecerdasan berpikir kita pada saat itu…

Ah, terkesan terlalu bertele-tele…

Dulu, aku selalu berpikir, dengan kesombongan seorang anak manusia yang yakin pada keberhasilan dirinya…, bahwa, bila orang lain bisa meraih suatu prestasi, maka, aku pun pasti juga demikian.

Yah, begitulah, si aku yang terlalu sok tau…

Dulu juga, karena aku selalu mendapatkan apa yang kumau, aku berkeyakinan bahwa hidup meski butuh perjuangan, namun pasti akan sanggup kulalui…

Anggapku yang begitu naif saat itu…

Tapi.

Tapi.

Dan, tapi.

Sekarang, setelah melewati lebih dari seperempat abad hidup ini, aku terpaksa mentransform pikiranku dengan begitu drastisnya, from the null and naive definition of life to the unpredictable yet sophisticated meaning of life…

Ah, what a revolution of my thinking behavior… 

Indeed, what a proof of the true and undeniable Qur’an has declared…

Dear God up above, I am seeking for apology for whatever my mind has in it... I am none other than a gullible human being...

Cinta Tak Pernah Meminta untuk Menanti

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis.

Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! 

Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.

Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.

Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah, sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya...

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab...

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud...

Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?

Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

Inilah persaudaraan dan cinta,” gumam ’Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.

Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab.

Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.

’Umar memang masuk Islam belakangan,  sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?

Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar...”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.

’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.

Wahai Quraisy,” katanya.

Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!

’Umar adalah lelaki pemberani.

’Ali, sekali lagi sadar.

Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.

’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan. 

Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.

Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?

Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?

Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan? kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.

Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi...”

Aku? tanyanya tak yakin.

Ya. Engkau wahai saudaraku!

Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!


’Ali pun menghadap Sang Nabi.

Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi.

Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!

Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

Engkau pemuda sejati wahai ’Ali! begitu nuraninya mengingatkan.

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, Ahlan wa sahlan!

Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?

Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.

Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.

Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah...”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban?”
”Dasar tolol! Tolol!”
kata mereka, Eh, maaf kawan... Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.

Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.

Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi.


Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,  

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.” 

‘Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku, dan siapakah pemuda itu?” 

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.”

------------------------------ 

Kisah ini disampaikan disini, bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an.

Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu.

Perasaan yang insya Allah akan indah ketika waktunya tiba.

------------------------------- 

Kisah ini saya kutip dari buku 'Jalan Cinta Para Pejuang' karya Salim A. Fillah, 
dari bab yang berjudul 'Mencintai Sejantan ‘Ali'.