Configuration

"between the good and the bad is where

you'll find me reaching for heaven"















FrenshiPath

Daisypath - Personal pictureDaisypath Friendship tickers

Tuesday, January 24, 2012

Oyee, rasanya pengen upgrade ingatan...

nah, gua awal-awal tuh emang udah firasat, pasti bakal ada barang yang tertinggal dengan sukses. biar gua udah koar-koar di sini dan berdoa agar supaya tidak meninggalkan apa pun yang dirasa penting --tidak seperti gajah yang meninggalkan gadingnya, ato juga harimau yang meninggalkan belangnya-- gua berharap banget ingatan gua tuh setia tanpa akhir. 

namun, apa hendak dikata. gua meninggalkannya juga... duh. padahal perannya cukup signifikan untuk kehidupan hari-hari. contohnya: makan shalat.

yep, that's rite (kali-kali ada yang nebak, hee). kompas yang dengan susah payah dibeli dengan melobi mas-mas penjualnya biar dapet lebih murah sempat ketinggalan juga. gua tersadar pas udah nyampe bandara soeta jakarta. wah, kebayang dong, itu kompas bakal mahal banget kalo gua beli di luar negri... walhasil, gua meras otak. TING... (ilustrasi: pake ada muncul lampu). ada satu temen (yang kebetulan bakal berangkat bareng-bareng gua) yang masih di banda aceh dan dengan semangat yang tidak dibuat-buat langsung aja gua telpon buat menjemput si kompas di rumah kos-an gua --menurut pengakuan dia, dia sempat muter-muter saking gak tau yang mana rumah gua...hehe, maafkan--

okeh, jadi case closed buat si kompas. dia bisa kudapetin kembali. cuma sekarang-sekarang, ada sebiji benda yang gua kangenin banget keberadaannya. try guessing... laptop? ini kan lagi dipake... hape? dia duluan malah... kamera? udah kuseret juga... sepatu? maunya sih lupa, tapi gua jalan pake apa dong... sandal? rok? baju? kaos kaki??? nooo, it's jam tangan! gua telah terlupa membeli jam tangan baru. heuheu...

jadi begini ya, bagi gua tuh, jam tangan adalah objek terpenting setelah alas bedak dan jilbab. *hlah, emang ada hubungan? hehe...

bener loh, gua menganggap jam sebagai bagian paling urgen dalam hidup hari-hari. dan saking gua rasa signifikan perannya, dia kupake di tangan kanan. akhirnya, kalo ada suatu waktu gua gak lagi memakai jam, rasanya kayak ada yang hilang. 

maka, karena gak enak banget kalo tangan kanan gua kosong tanpa mengenakan apa pun, kuputuskanlah buat memakai gelang. gelangnya sih biasa aja, warna putih gitu, cuma karena ada talinya jadi alam bawah sadar gua kayak merasa itu adalah jam tangan.

berulang kali gua ngeliat ke arah tangan kanan dan menemukan kalo itu (lagi-lagi) bukan jam. haah... nampaknya gua udah harus segera membeli jam baru di sini, sebelum gua frustasi tiap kali liat tangan kanan, gua harus menerima kenyataan pahit bahwasanya jam gua gak lagi nangkring di sana.
 i miss you, jam... hope to see you soon.  
 *halah... melebai ini...

Saturday, January 14, 2012

Get, Ready,... Woops, Wait a Minute!

Voila, semua udah selese ya... cuman aku kok teteup kuatir ada yang ketinggalan ini. Apa pasal? Senin depan aku berangkat ke Oz (iye, aku baru tau kalo orang Aussie tuh bilangnya Oz buat negara ndiri, hm, info yang amat bermanfaat) trus menurut aturan bagasi pesawat yang bakal kunaiki, masing-masing penumpang boleh bawa barang maksimal 30 kilo. Yah, cukup besar muatannya kan? En, gua pun senang.

Eh, tapi, karena sebelum itu aku naik pesawat domestik, aturan ini agak kurang menguntungkan pihakku.

Dari Banda Aceh ke Jakarta tuh kan masih dalam negeri, otomatis berat barang bagasi yang diperbolehkan cuma 20 kilo aja... higs, minus 10 kilo kan tuh. Gua bersedih...

Coba, sekarang satu-satunya jalan kan aku harus mengalihkan sebagian barang bawaan ke kabin. Yang gini-gini tuh yang bikin ribet, soalnya setelah nitip koper ke bagasi, aku musti nentengin tas ransel satu biji (yang udah cukup berat dengan isian laptop dan kamera DSLR) plus, satu lagi tas tentengan yang entahlah aku gak tau berapa beratnya dia. Yang jelas masih sanggup kuseret. Hee...

Nah, di atas semua itu, ada yang masih aku pikirkan... banget. Apalagi yang harus kubawa? Gimana kalo ada yang penting tapi malah tertinggal? Trus yang terpenting, gimana caranya mengelabui timbangan bandara berikut petugasnya??? Mengingat aku hobi lupa, hyaa... Oh, God. Gua emang parah. Abisnya... ƪ(‾ε‾“)ʃ

Friday, January 13, 2012

Nama Baik itu Harga Mati!

Umumnya, aku cenderung menganggap isu-isu itu sekadar angin lalu, meski sebenarnya sering kali itu membuat sakit hati. Kalau kamu punya aktifitas di banyak tempat, sudah barang tentu intrik-intrik antar sesama itu tidak akan terelakkan. Pun bila namaku dicatut-catut dan dipersalahkan, aku cenderung mencoba berbaik sangka, yah, bisa jadi sang pencatut memandang perilaku itu dari sudut pandang yang berbeda, aku terima saja. Sah-sah saja. Toh, aku memang melakukan sesuatu hal, yang mungkin terlihat tidak baik di mata orang lain. I’m fine with it, for as long as I did do the things they said.

Tapi. Ada kalanya aku tidak terima, dan menuntut adanya penjelasan atas mengapa aksiku dipersalahkan. Dan bila ada kasus seperti ini, aku biasanya langsung menghubungi berbagai pihak yang mendengar, menyampaikan dan juga menyebarkan isu-isu yang bisa membuat kuping memerah dan hati memanas. Well, let’s say that aku tipe yang langsung-langsung aja. Just straight to the point, speak up my mind, and get the things clear.

And, that what happens if my actions seem to piss off some people. Kita akan mencoba berbagai cara supaya gencatan senjata bisa dilakukan. Kalau kita tidak mencoba upaya klarifikasi, bagaimana mungkin kita bisa damai, dan nama baik kita bisa dipertahankan.

Begitulah. Hal yang biasa aku perbuat jika di suatu ketika ada orang-orang yang salah paham dengan perbuatanku, sehingga itu bisa meminimalisir persangkaan-persangkaan yang tidak baik dari orang di sekelilingku.

Tapi. Ternyata usaha yang dulu kulakukan untuk berdamai dengan orang-orang kali ini tidak menghasilkan apa yang kuharapkan. Untuk membersihkan nama baik.

Kejadian itu telah menimbulkan berita yang sangat tidak mengenakkan yang entah bagaimana caranya hingga akhirnya namaku dan beberapa teman yang lainnya ikut terseret dalam intrik sebuah rumah tangga.

Kenapa aku memutuskan untuk membeberkan masalah ini ke postingan blogku itu tak lain karena dari semenjak aku tercantum dalam penyebaran berita miring itu hingga detik ini, sang pencetus berita (yang kebetulan berstatus seorang suami dan ayah 3 anak) tidak bersedia membereskan kekacauan yang sudah dia timbulkan, ditambah pula dia tidak bersedia ditemui untuk meluruskan kebenaran cerita yang terlanjur tersebar kemana-mana dan terlanjur menjatuhkan harga diri kami di depan publik. Sangat melecehkan, dan sangat menghinakan. Jujur saja, saat itu seperti kehormatan kami, para muslimah, menjadi begitu terkoyak demi mendengar dan membaca komentar-komentar yang keluar dari forum publik tersebut.

Sebagai wanita biasa, aku merasa dilecehkan. Dan sebagai muslimah, aku merasa begitu dipermalukan. Oleh siapa? Uh, justru oleh kaum yang seyogyanya menjadi pemimpin para wanita. Muslim pula. Such a disgrace!

Sebenarnya, di beberapa postingan yang lalu, ada sekitar 3 postingan, telah kusinggung sedikit mengenai masalah ini, ya, sampai-sampai aku membuat referensi ke Surat An-Nur ayat 11-26, yang pernah menurunkan kisah Aisyah r.a yang sempat terkena fitnah oleh masyarakat di waktu itu. Memang, kasus yang menimpa kami, tidak dapat disandingkan dengan beratnya penderitaan psikis yang dialami istri Rasulullah tersebut, hanya saja kupikir, ada suatu kesamaan yang menghubungkan nasib kami dan nasib beliau. Ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan fitnah! Dan, berita bohong itu adalah kebenaran yang diada-adakan.

Jadi, setelah mempertimbangkan beberapa hal, aku putuskan untuk ‘curhat’ di sini (like I usually do). Silakan berpendapat apapun. Mungkin akan ada yang menganggap postingan ini seperti membuka aib, aib siapapun itu, namun... ada sebuah pandangan hidup yang aku pegang sampai sekarang ini.

“Lebih baik mengetahui langsung dari sumbernya, supaya kau tahu duduk perkara sebenarnya.”

----

Hari itu sebetulnya aku baru saja tiba di Banda Aceh, setelah dua bulan lebih mengikuti pelatihan di Jakarta. Begitu kubuka akun fesbuk, seorang seniorku (kita sebut dia BG) menyapa di chat. Ngobrol beberapa saat, dia tiba-tiba bertanya tentang masalah seorang teman (selanjutnya akan kusebut dengan julukan Dodol Jenang—untuk menunjukkan tingkat intelejensinya dalam memperkeruh kasus), apakah aku tahu sesuatu atau tidak. Karena memang buta tentang apa yang terjadi, segera saja kujawab ‘tidak tahu’...

Lanjut chatting, BG menyebut beberapa nama teman dekatku, yang akan kusingkat jadi CS1 dan CS2. Lalu, karena kadung penasaran mengapa tiba-tiba ditanya begitu, aku langsung menodong cerita selengkapnya. Maka, dimulailah petaka tahun itu.

Singkat cerita, si Dodol Jenang amat murka karena beberapa muslimah berkumpul dalam suatu halaqah dan khusus membahas masalah ‘perceraian’ keluarganya. Lantas, kemurkaannya dilampiaskan ke dalam status fesbuknya... tapi aku dan beberapa teman yang tertuduh tidak tahu karena, ah... dia telah me-remove kami dari pertemanan di jejaring sosialnya. Ternyata, tak ada arti pertemanan kami sejak SMA dengannya. Yeah, people do change...

Namun, bukan berarti statusnya tidak terbaca, karena tanpa disangka-sangka akunya tidak disetting ‘private’ sehingga kami tetap bisa membaca semua komentar-komentar miring dan cukup menyayat hati dari... uh, pria-pria yang mengaku dirinya muslim sejati...

Mereka pasti tidak sadar, atau mereka tidak tahu? Bahwa kata-kata itu sama tajamnya dengan pedang. Ya, lidah memang tidak bertulang, tapi dalamnya torehan luka karenanya melebihi pedihnya tusukan pedang. Teman-temanku yang membacanya (meski tidak ikut terkena isu ini) bisa merasa kecewa dan sakit hati, lalu, dapatkah kau bayangkan bagaimana perasaanku  saat itu?

Bagiku, apa yang mereka maksudkan tidak akan sangat membuat sakit jika seandainya aku dan mereka tidak berteman. Tetapi, mereka adalah temanku dari SMA, dan biarpun tidak pernah bertemu lagi karena kesibukan, dan hanya bisa bertegur sapa melalui dunia maya... toh, kami tetap berhubungan baik. Malah, beberapa minggu sebelumnya, si Dodol Jenang itu menyapa lewat chattingan... dan masih bisa bercanda-canda... lalu, begitu terhasut isu itu, dia bisa berubah sangat keji. Mengeluarkan kata cacian, dan bahkan mendoakan keburukan... tidak pernah kusangka dia akan jadi pria seperti itu. Tanpa mencoba mencari tahu kebenaran isu itu, dia membabi buta menyalahkan kami seolah-olah kerja kami sehari-hari adalah membicarakan kejelekan rumah tangganya. Betapa nistanya!

Sebelumnya, aku padahal sudah berjanji dalam hati... apapun perkataan yang keluar dari orang-orang yang terhasut itu, aku tetap akan bisa tidak peduli.

Pada kenyataannya, aku memang seorang wanita biasa. Tetap saja merasa terhina... dan sehingga, di satu titik yang tidak bisa kutahan lagi, air mata itu pun menetes juga. Ketika itu, kata-kata hinaan itu, yang di situasi biasa akan kutepis bagai angin lalu... terasa sangat menjatuhkan marwahku. Harga diriku.

Bisa-bisanya kami dianggap ‘menyukai suami orang’, ‘tidak senang karena dia menikah dengan istrinya sekarang’, ‘gak nyadar kalau dia sudah punya anak TIGA!!’... belum lagi saran-saran yang sangat menohok hati. “Nikah sana, biar ada yang bisa diurus... jangan sibuknya ngurusin rumah tangga orang lain.” Astagfirullah, dan bahkan menyarankan untuk ikut halaqah satu tingkat lagi biar agamanya tambah bagus. Belum lagi tuduhan yang semakin membuat darah mendidih, “Tega kalian makan bangkai teman sendiri.” 

Aku tergugu.

Padahal mereka belum tahu apa-apa, hanya dari perkataan satu pihak saja. Dan mereka sudah mendoakan kami semua dengan kata-kata mereka. Apa mereka pikir, karena kami belum menikah maka kami begitu mempunyai waktu luang hingga ribut-ribut dalam rumah tangganya kami sebarluaskan? Atau karena kami belum menikah itu sama dengan tidak laku-laku dan tidak ada pria normal yang bersedia menjadi suami kami, sehingga kami begitu putus asanya hingga mendoakan keburukan dan perceraian terjadi atas mereka lalu salah satu dari kami bisa menjadi istrinya? Menjijikkan. 

Apa itu hasil didikan tarbiyah yang mereka jalani bertahun-tahun ketika mereka masih menjadi mahasiswa? Sungguh tidak mencerminkan akhlak seorang muslim yang rahmatan lil alamin... Apa perlu kusebut deretan pria yang melamar? Jumlah mereka? Nama mereka? Supaya mereka tahu, menjadi istri si Dodol Jenang itu bukan segalanya, dan justru merupakan malapetaka. Aku marah sekali, dan amat sangat tersinggung dengan semua komentar sinis mereka.

Seandainya istrinya tahu, suaminya lah yang malahan bercanda dan menyinggung poligami disaat chatting. Apa mereka tahu? Si Dodol Jenang itulah yang menciptakan awal kisruh ini. Dan istrinya pun tak jauh bedanya. Setelah mengumbar nama-nama kami dihadapan suaminya, dan mengarang cerita kalau kami bergosip ria membicarakan kemungkinan mereka bercerai, dia memilih cuci tangan dari kekeruhan ini.

Intinya, seperti kukatakan di awal tadi, setiap namaku dicatut dan dipersalahkan atas suatu hal, aku ingin segera pelurusan masalah. Termasuk di kasus yang tidak menyenangkan ini.

Di keesokan hari, setelah kabar yang kudapat itu, aku dan CS1—yang kebetulan merupakan teman si istri, sebut saja dia Keripik Pedas, menghubunginya dan menyatakan ingin kerumah mereka untuk membahas masalah ini, sekaligus ingin mengklarifikasi apakah benar berita yang kami dapat dari BG.

Keripik Pedas ini, si istri ini, tahu tidak apa yang dia lakukan? Dia membalas pesan singkat kami dengan tanpa rasa tanggung jawab. Pesannya kurang lebih begini: “Assalamualaikum wr wb, antum dan antunna sekalian, semua masalah yang ada kaitannya dengan si Dodol Jenang (nama asli disamarkan—karena saya masih punya nurani—red), silakan langsung hubungi dia saja. Saya tidak mau dihubungkan dengan masalah ini. Wassalam.” 

Deng. Sudah, begitu saja dia menyelesaikan ini. Alhasil, kami bingung harus bagaimana, karena dia menolak kerjasama.

Perjuangan kami tidak berhenti sampai disitu. Si CS2 pun mencoba menghubungi Dodol Jenang untuk konfirmasi... dan dia pun sama tidak kooperatifnya. Pernyataan dia pun tak kalah innocent-nya. “Kalau kalian gak merasa berbuat, ya sudah.” 

[Aku sampai berkesimpulan, Maha Benar Allah dengan Segala Firman-Nya. Wanita baik-baik, untuk pria baik-baik. Wanita tidak baik-baik, untuk pria tidak baik-baik. Si Dodol Jenang dan Keripik Pedas, benar-benar ditakdirkan satu sama lain. Selamat!] 

Very well, memang dipikir-pikir kenapa malah kami yang repot jungkir balik mencari ide untuk berbaikan dengan dia, ya memang. Harusnya kami tidak perlu repot begini... kalau dia tidak menyebutkan namaku, CS1, CS2, CS3... di WARUNG KOPI! Bah, sebuah forum yang pas sekali untuk menyebar nama kami ke seantero kota sebagai ‘wanita tukang gosip rumah tangga orang’.

Sehubungan dengan insiden penyebutan nama ini, Dodol Jenang mengelak dengan alasan bahwa dia tidak menyebut nama kami, tetapi teman-temannya lah yang menyebutnya. Lantas, dia pun tidak merasa perlu menjelaskan kepada mereka tentang apakah benar kami melakukan itu atau tidak. Katanya, “itu urusan mereka mau berpikir tentang siapa.” Ha, very nice person indeed. Heran juga, kenapa tidak kusadari dia orang bermuka dua begini sejak dulu-dulu.

Selanjutnya, temanku CS3 mencoba bertanya kebenaran isu ini, dan lagi-lagi Dodol Jenang mengelak. Lalu, begitu ditodong mengapa tiba-tiba kami di-remove dari akun fesbuknya, dia pun berargumen, “Waktu itu aku buka fesbuk pakai hp, jadi tanpa sengaja, nama kamu ter-remove dari fesbuk.” Heh, really? Siapa sih yang coba dia kibuli? Anak balita? Gimana caranya 4 nama bisa ter-remove dari list pertemanan, mengingat nama kami semua tidak berurutan... apa akunnya punya fasilitas ‘auto unfriend’? 

Semakin kutahu, aku makin tak bisa percaya dia itu orang yang sama dengan orang yang kukenal dulu...

---

Cerita ini di titik tertentu memang nyesekin. Aku tidak peduli walau kata sepedih apapun ditujukan ke aku pribadi, kalau orang itu tidak kukenal sama sekali, atau orang yang baru kenal dan bisa jadi tidak begitu mengenalku.

Tapi, cerita menjadi berbeda bila subjek juga berbeda. Efeknya sudah barang tentu akan berbeda.

Terhitung kurang lebih 5-6 tahun aku tidak bertemu si Dodol Jenang, dan aku baru tahu kalau dia sudah punya anak tiga orang. Bukannya pernikahan mereka harusnya bahagia? Jadi, ketika aku terseret ke isu bahwa ada kisruh dalam pernikahannya dan dituduh ikut memperpanjang berita miring itu di dalam forum, jelas aku menuntut perbaikan nama. Karena, hingga sekarang aku tidak mendengar ucapan maaf darinya, meski kata BG (seniorku itu) si Dodol Jenang telah berjanji akan memperbaiki keadaan.

Tulisan ini, akan terbaca sangat blak-blakan di satu sisi... tapi, aku memandang ini perlu kulakukan. Di suatu saat nanti, mungkin akan ada yang mendengar tentang kasus ini secara sepihak lagi, maka ini adalah langkah preventif yang bisa aku perbuat.

Apa sih yang bisa kau lakukan bila kau tidak punya bukti apapun untuk menjelaskan ketidakbersalahan dirimu? 

Isu ini dimulai dari kecemburuan seorang istri, yang hanya mendasarkan kebenaran dari ucapannya semata dan berkata bahwa beberapa wanita membicarakan perceraian di antara mereka dan juga betapa ruginya si suami karena tidak menikah dengan wanita yang pernah dijodohkan dengannya di masa lalu. Perkataan itu kemudian diamini oleh si suami, yang membuang akal sehatnya dan termakan hasutan dan amarah si istri, yang lalu melepas isi hatinya ke hadapan dunia... maka, apakah menurutmu, tidak akan adakah orang yang simpati?

Lalu, bagaimana dengan kami? Yang juga berusaha meyakinkan orang dengan ucapan juga? Menurutmu, yang manakah yang akan dibela?

Untuk itulah, aku menulisnya. Aku bercerita, karena aku ingin orang bisa belajar satu hal saja.

Bersangka baiklah. 
Karena bila kau berburuk sangka, maka kebaikanmu selama hidup takkan ada artinya.

Friday, January 6, 2012

When Killing is Just a Piece of Cake

Rupanya tanah kelahiranku ini memilih membuka awal penanggalan dunia dengan aksi tarik nyawa. Hooh, jadi di 2012 ini malaikat Izrail udah punya 'saingan' yang berasal dari dunia fana ini... Hebat sekali kan? Entah mungkin di pikiran mereka, dengan cara begini bisa tawar-menawar ajal... kali-kali mereka mau dicabut nyawanya. 

Semula kukira hanya kasus kriminal biasa. Malah kusangka para pelaku itu pake metode random sampling... memilih korbannya secara asal. Tapi, setelah di awal Januari kemarin itu terjadi penembakan di sebuah rumah kontrakan yang dihuni beberapa pekerja yang berasal dari pulau Jawa, aku langsung berfirasat kalau ini bukan kasus asal tembak saja.

Kupikir, dibalik itu pasti ada hal yang besar. Yang ternyata setelah ditelusuri mengarah ke konflik kepentingan, yang dipicu latar belakang sosial ekonomi. Kecemburuan sosial.

Bayangkan, sampai tadi malam, aku telah mendengar sekitar 4 kasus penembakan yang mengakibatkan kematian. Yang kesemua korbannya berasal dari tanah Jawa. Huft.

Aku jelas kecewa sekali. Ditengah usaha menuju perbaikan moral dengan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, tak pernah kusangka justru membunuh orang lain tanpa haq terjadi di selang waktu yang sangat dekat, 4 kasus dalam seminggu. Luar Biasa... Gila!

Dan, sejauh yang kutahu, hukum syariat Islam di sini telah mencakup 'zina dan sebangsanya' serta 'menutup aurat'. Aku tidak tahu apakah juga turut diberlakukan hukum 'pembunuhan' sesuai syariat Islam. Mudah-mudahan ada.

Terlepas dari apapun konflik kepentingan itu, aku hanya heran saja, apakah sebegitu mudahnya mereka membunuh sesama mereka? Tidak adakah terbersit rasa berdosa ketika manusia lain merenggang nyawa di tangan mereka? 

Seolah-olah hanya mereka yang berhak hidup di negeri ini.

Seolah-olah suatu saat mereka tidak mati saja.