Kemarin malam, aku terlibat diskusi tanpa solusi dengan beberapa orang teman… Seperti biasa, dan seperti yang sudah kusebutkan tadi, itu adalah sebuah diskusi…yang benar-benar tanpa solusi pasti… yah, apalagi kalau bukan diskusi tentang ‘pernikahan’ alias ‘munakahat’ kalau dalam bahasa Arabnya. Ah. Sebuah diskusi yang tanpa ampun. Aku pun menjadi bingung.
Kebingunganku ini bukannya tanpa latar belakang… Jauh sebelum malam itu, diskusi semacam telah aku jalani dengan intensitas di atas normal yang diperbolehkan. Dan saking seringnya, aku lantas menobatkan diskusi ini sebagai ‘diskusi tanpa solusi’… gara-gara di setiap akhir cerita, tak ada resolusi yang tercapai… yang bahkan konflik saja punya resolusi pasti… Ugh…
Supaya postingan ini tidak disalahpahami… aku perlu mengumumkan sesuatu. Aku tidak sedang komplain di sini. Tidak. Aku hanya ingin menyampaikan satu hal… bahwa aku minta maaf. Maaf atas ketidakmampuanku menjalin hubungan dengan pria-pria yang notabene berharap dapat menggenapkan setengah diennya denganku. Mungkin aku sombong? Hahaha…tentu saja tidak. Itu tidak benar sekali. Aku hanya tidak bisa saja. Tidak bisa kalau tidak dengan seseorang yang saya suka, dan juga menyukai saya. Jadi, aku menginginkan adanya semacam a mutual feeling… chemistry, that is.
Maka, wajar saja bila harus merujuk pada wishlist-ku ini, semua diskusi alot tentang nikah sudah pasti akan berakhir tanpa solusi.
Namun, sungguh lucu. Karena ternyata ketika orang-orang yang terlibat diskusi mempertanyakan alasan ke-masih single-anku mengetahui jawaban seperti di atas, mereka langsung geleng-geleng kepala… dengan tatap tak percaya… pandangan aneh… melihat kenyataan bahwa aku bisa begitu keras kepala. Well, I just can’t help it… It’s the feeling we talk about…
Nah, kalau mereka berubah heran atas sikapku terhadap a future husband… sebaliknya, aku juga merasakan hal yang sama. Selalu, aku bertanya-tanya dan menganalisa…kemungkinan-kemungkinan…tentang kesediaan orang-orang, khususnya teman-temanku, menikah dengan pria yang dikenalkan atau juga baru mereka kenal. Selalu, aku berusaha agar bisa setidaknya memberi luang di hati untuk sosok-sosok baru. Dan selalu, aku berharap dapat menjadi seperti mereka sehingga paling tidak aku bisa menyenangkan orang yang sedang mengusahakan membangun mesjid di surga kelak. Tapi, selalu saja, aku bernasib naas. Sulit sekali mengarahkan hati ke trek yang benar. I’m worn out already…
Lalu, selain terperangkap dalam lingkaran setan diskusi tanpa solusi itu, ada juga sebuah soal yang begitu sukar kujawab. Hampir setiap kali pertanyaan itu dilontarkan pihak-pihak yang penasaran, aku selalu kewalahan mencari kunci jawabannya. Padahal soal itu tidak berbentuk rumusan matematika yang njelimet susahnya. Itu hanya soalan biasa. Aku saja yang tidak biasa.
Berbagai alternatif sudah kuberi sebagai respon untuk pertanyaan tersebut. Tapi, lagi-lagi, aku mendapat minus dengan jawaban-jawaban ‘cari selamat’ itu. Soal itu seolah tak ada matinya, aku jadi di-skak mat tiap berhadapan muka dengan sang soal. Bagiku, masih jauh lebih mendingan bila aku disuguhi segepok soal-soal menguras pikiran sejenis TOEFL atau IELTS atau SAT atau GRE atau SPMB atau TPA atau apalah lagi jenis-jenis tes yang tersedia di dunia ini ketimbang harus mengisi lembar respon dengan opsi negatif.
Bagiku, sebiji soal tak seberapa mana itu malah yang mempunyai resolusi tinggi bak kamera DSLR yang aku harap bisa miliki seharga 20 jutaan dan level kesulitan nyaris mendekati sempurna, 0.999, bila kuuji dengan software statistikku. Sungguh soal yang terlalu sophisticated and complicated yang selain membutuhkan kecerdasan intelejensi IQ, juga kecerdasan emosi EQ dan kecerdasan spiritual SQ di atas rata-rata normal kebanyakan orang bagi si penjawab.
Ya, benar sekali, kita –sebagai si penjawab— sekurang-kurangnya harus memiliki hati seluas samudra agar tidak jenuh dan terzalimi saat disodori soal sekaliber ini. Hati, jiwa dan pikiran kita mestilah berpadu sedemikian rupa supaya kita siap sedia ketika kita memberi jawaban wajib “belum” atas pertanyaan wajib “sudah nikah belum?”, dan jawaban wajib “belum ada” atas pertanyaan wajib “sudah ada calon belum?”, serta juga jawaban wajib terakhir “belum tahu” atas pertanyaan wajib terakhir “kapan nikahnya?”.
Bagiku, sebiji soal tak seberapa mana itu malah yang mempunyai resolusi tinggi bak kamera DSLR yang aku harap bisa miliki seharga 20 jutaan dan level kesulitan nyaris mendekati sempurna, 0.999, bila kuuji dengan software statistikku. Sungguh soal yang terlalu sophisticated and complicated yang selain membutuhkan kecerdasan intelejensi IQ, juga kecerdasan emosi EQ dan kecerdasan spiritual SQ di atas rata-rata normal kebanyakan orang bagi si penjawab.
Ya, benar sekali, kita –sebagai si penjawab— sekurang-kurangnya harus memiliki hati seluas samudra agar tidak jenuh dan terzalimi saat disodori soal sekaliber ini. Hati, jiwa dan pikiran kita mestilah berpadu sedemikian rupa supaya kita siap sedia ketika kita memberi jawaban wajib “belum” atas pertanyaan wajib “sudah nikah belum?”, dan jawaban wajib “belum ada” atas pertanyaan wajib “sudah ada calon belum?”, serta juga jawaban wajib terakhir “belum tahu” atas pertanyaan wajib terakhir “kapan nikahnya?”.
Semoga aku selalu dalam lindungan dan rahmat Allah swt bila aku harus menjawab hal-hal yang diluar kekuasaanku. Dan semoga, orang-orang yang begitu ingin tahu bisa langsung merasa diam dan tentram hatinya demi mendengar jawaban demikian terlontar dariku. Amiiin…
A last note,… it’s just a thought I wanted to share to the world. No offense. (^^):v