Aku tidak begitu ingat kapan sebetulnya pertama kali aku suka buku. Sudah sangat keras kucoba, tapi tetap saja aku tidak tahu persisnya kapan, atau tanggal berapa, atau hari apa, atau saat apa, atau pas ada kejadian bersejarah apa di dunia. Aku murni amnesia historis... *emang ada? hehe
Yang jelasnya masih tertera di ingatanku ini, buku pertama (ehm, minus buku pelajaran sekolah yang pasti...) yang aku akrabi adalah majalah anak-anak yang memuat kartun ala Barat, seperti Tin Tin atau Asterix... lalu, perlahan aku mengenal segala genre buku atau novel yang bisa aku dapat. Yah, secara aku tinggal di sebuah kota kecil sekaliber Sigli, jadi sangat jarang sekali ada tempat penyewaan buku/novel yang asik. Satu-satunya tempat sewa yang aku kunjungi selama aku remaja adalah di kios penyewaan buku/novel milik bang Daus, yang kebetulan sekali adalah abang sepupunya teman sekolahku.
Bisa dikatakan, kios bang Daus itu adalah pemberi sumbangsih terbesar untuk keberlangsungan hubunganku dengan para buku. Karena, aku tidak bisa mengandalkan perpustakaan daerah di kotaku itu. Diperparah dengan, aku tidak bisa mengumpulkan uang untuk buku-buku yang aku ingin baca. Plus, orang tua aku juga tidak suka kalau aku menghabiskan uang untuk buku, selain buku teks sekolah. Apesnya lagi, uang jajan aku memang khusus di-set supaya cukup untuk jajan, tok. Kalau mau menabung, ya, butuh kesabaran tinggi.
Pernah, aku menabung sampai menahan diri dari tidak makan jajanan sekolah atau setidaknya setengah uang jajan kusisihkan buat tabunganku. Menderita banget, deh. Tapi, demi buku, apa boleh buat. *ah, masa lalu itu...
Dan, gara-gara kebiasaan itu mungkin yang menyebabkan aku getol beli-beli buku sampai sekarang. Karena itulah, bapak aku juga suka kasih tahu buku-buku yang menurut dia aku bakal tertarik untuk membacanya, atau mengajarkan alternatif, kalau tidak sanggup dibeli, ya, difotokopi saja. Hehe.
Kalau dipikir-pikir juga, di rumahku itu, yang suka membaca buku selain aku, ya, bapakku. Jadi, di rumahku itu, satu lemari buku adalah milik bapak, dan satu lemari lainnya adalah milikku. Yang lain? Pada ngontrak... hehe. Yang lain, cuma numpang baca, atau merayu-rayu supaya aku mau beli buku yang akhirnya mereka bisa baca. *betapa mupengnya...
Dalam beberapa hal, aku tidak membatasi genre buku yang kubaca. Hampir semua jenis bacaan pernah kulahap, eh, kubaca... mulai dari suspense, kriminal, thriller psikologi, romance, chick-lit, sampai buku tafsir hadits, asbabun nuzul, novel islami, seri motivasi dan leadership,... hingga, komik. *hehehe
Tapi, ada kisah yang menyeret hobi baca komik-ku itu.
Di siang hari itu, seorang jilbaber datang ke kos-ku. Demi melihat tumpukan komik yang sudah kubaca berjejer di atas lemari tempat tidur, dia langsung melayangkan protes, "Kak, kok baca komik ginian, sih?"... Aku jadi serba salah, dan cuma senyam-senyum saja mendengar ocehannya itu.
Ini sempat membuatku berpikir, 'Ah, jadi begini, tho, pendapatnya tentang bacaan itu?' Hmm, tiap orang memang boleh punya persepsi masing-masing. Di kasusku, aku tidak bisa menjustifikasi sebuah bacaan hanya dari genre-nya semata. Apa bedanya dengan novel islami yang sering menjual mimpi surga dalam sekali tepuk. Well, dalam hal ini, komik dan novel islami itu bersaudara. Hehe. Sekarang, tugas masing-masing pembaca adalah mem-filter kebaikan yang ada di dalam tiap genre bacaan yang dia pegang tersebut. *mo elu baca tafsir hadits juga, kalo gak diamalin, kayaknya nonsense juga ujung-ujungnya... fufufu
Hingga saat ini, aku masih suka membaca buku-buku, dan sering membeli juga. Cuma, sungguh sangat disayangkan, harga-harga buku sekarang kian menjulang tinggi, dan selalu membuat aku menghela napas saking mahalnya. Nilai jualnya hampir menyamai harga emas di pasaran. Mungkin, orang-orang sekarang bisa menjadikan buku sebagai alternatif mahar (emas gak sanggup beli, 'kan? ngaku aja, hehe), lagian juga, bisa dipakai sebagai alasan ketika melamar, dan mendapat dukungan al Quran...
Calon Mertua: (dengan nada intimidasi) "Kenapa kamu kasih anak saya buku-buku sebagai maharnya? Enggak ada duit kamu, ya?"
Calon Menantu: (dengan pede tinggi, tidak kecut hati sama sekali mendengar nada intimidasi) "Pak, buku ini mahar yang sangat dimuliakan, lho. Buku itu 'kan gudang ilmu, dan orang yang membacanya akan menjadi orang yang berilmu, dan seperti yang difirmankan Allah dalam surat al-Mujadillah ayat 11 bahwa orang yang berilmu itu tinggi beberapa dejarat daripada orang yang beriman. Nah, Pak, seharusnya Bapak bangga anak Bapak mendapat mahar buku-buku penuh ilmu. Sekian, lamaran saya, Pak." *plak, kena tabok abis ngomong tu... hihihi
Kalau membeli di toko buku di sini, harga bukunya (katanya) sudah seperti harga katalog dari penerbit, dan akhirnya tidak bisa diberi diskon. Walhasil, aku harus rela melepas lembaran uang itu demi para buku.
Tapi, ada sebuah toko buku yang juga lumayan sering kukunjungi (kalo mau lebih sering lagi, bisa kantong kering gue jadinya) berjudul Paramita, yang memberi diskon 10% untuk member tokonya. *heuheu, terharu banget deh, akhirnya di Banda Aceh ini ada juga toko buku yang begitu pengertian...
Lalu, ada juga sebuah kios buku yang menjual banyak buku bekas, yang sangat kusyukuri keberadaannya di tengah kota Banda Aceh yang cukup gersang ini. Macam oase di padang pasir gitu deh, ceritanya. *tsaaah
Alternatif lain yang lebih oke juga adalah dengan membeli secara online. Toko online memberi diskon sampai 20%, dan malah ada yang 30%, hanya saja ongkos kirim buku harus ditanggung sendiri. Mungkin ini bisa jadi faktor kendala juga, cuma kalau total harga buku dan ongkir lebih murah dari beli di toko buku di sini, maka pilihan ini bisa dipertimbangkan, 'kan?
****
Ayo kita gemar membaca...dan membeli juga, biar para penerbit tidak sia-sia mencetak buku seabreg-abregnya... hehe