Zaman putih biru itu dalam sejarah hidup seorang wanita
dewasa (deu) seperti saya bisa dibilang zaman paling monumental. Termasuk juga
masa menemukan jati diri.
Bagian monumental dalam sejarah saya ini sebetulnya erat
kaitannya dengan kebiasaan dan kebisaan saya sebagai seorang siswa SMP. Masa
menduduki bangku SMP ini, saya mengkategorikan diri sebagai fan berat komik
Jepang, berikut anime-nya, saya juga pecinta berat novel berbau detektif dan
sebangsanya, termasuk juga penikmat berat lagu Barat dan bahasanya. Salah satu
bahasa yang paling saya minati kala itu adalah bahasa Inggris.
Bicara tentang bahasa Inggris, sejujurnya ini jugalah yang
menjadi pelajaran favorit di sekolah. Bisa dibilang yang membuat saya bertahan
di bangku pendidikan formal ini ya, pelajaran bahasa Inggris. Semacam oase
begitu, hehehe. *iyah maap, ini hiperbola*
Kalau diingat-ingat, sebenarnya saya bukan yang ahli sekali
bahasa Inggris masa itu, tapi entah kenapa sebagian besar teman sekolah
seringnya diskusi pe-er bahasa Inggris dengan saya. Mungkin karena efek suka
pelajaran ini yang sedemikian tingginya sehingga menciptakan suatu daya tarik magnetis
yang membuat orang mengira saya jagonya (aih, ngomong apa ini). Dan karena pada
dasarnya saya orang yang kompetitif dan tidak suka kelihatan tidak tahu, sudah
pasti saya berusaha memberikan jawaban yang memuaskan pemirsa budiman…kecuali
sedang “bad mood”. *ups*
Singkat cerita, zaman putih biru adalah zaman ketika saya
menisbatkan diri sebagai pecandu bahasa.
Lalu bagaimana kabar pelajaran sekolah yang lainnya? Sebodo
amat. Sebagai seorang siswa yang tidak suka punya nilai jelek di akademik,
sudah barang tentu saya tetap fokus belajar untuk mata pelajaran selain bahasa.
Bukan rahasia lagi kan kalau siswa sekolah itu belajarnya sangat beragam, serta
mesti menguasai semua tawaran pelajaran yang ada. Otomatis, pelajaran seperti
matematika, fisika, kimia, biologi (IPA, kalau di SMP), ekonomi, geografi (IPS,
kalau di SMP), sejarah, PPKN, agama, kesenian, dan olahraga harus bisa
dikuasai. Oleh karena itu, saya di kala itu me”wajib”kan diri sendiri untuk
bisa berada di 5 besar peringkat kelas. Benar-benar “mental breakdown” kalau
saya mendapati diri gagal di mata pelajaran tadi. Kenapa begitu? Karena saya cuma
bisanya itu, “academic-oriented”. Jujur saja, saya iri melihat orang lain yang
punya keahlian yang menggunakan keterampilan fisik. Contohnya, pintar gambar (lukis,
desain, arsitektur, komik, dll), pintar jahit, prakarya, atau juga pintar
olahraga (termasuk senam, dll). Kesemua “skill” tadi itu, tidak satupun yang
mampu saya lakukan dengan baik. Saya bisa teorinya, tapi tidak di prakteknya.
*hela napas*
Kalaulah pelajaran sekolah, seperti kesenian dan olahraga,
hanya mengambil nilai praktek, insya Allah kondisi rapor sekolah saya tidak
bisa dibanggakan (uhuk). Sering saya merasa kurikulum pendidikan formal kita memang
menguntungkan orang-orang yang “non-physical skill oriented” seperti saya. Coba
misalnya guru olahraga saya fokusnya di ujian praktek, aduh duh, bisa-bisa masa
putih biru saya kelam-sekelamnya (yang akan dilanjutkan kekelamannya di masa
putih abu-abu).
Dulu saya sangat antipati kalau sudah masuk pelajaran
olahraga (satu lagi yang bikin alergi itu matematika, tapi masih bisa
ditanggulangi dengan belajar), karena mau bagaimanapun saya usaha, tetap saja “fail”.
Mungkin karena ini juga, ada obsesi tersendiri untuk berhasil yang justru
membuat saya suka sekali menonton segala yang berbau olahraga. Pokoknya saya
tahu semua jenis olahraga, hanya jangan suruh saya praktek saja. Please!
Dalam skala 1-100, nilai praktek olahraga saya itu memalukan,
karena poin 50 saja tidak pernah sampai. Lari 5 menit perut sudah kram, koprol rusak
total, push-up jatuh bangun, sit-up gagal bangun, servis bola voli tidak sampai
lewat net (guru saya saking frustasinya, akhirnya menyuruh saya berdiri persis
depan net biar bola sukses ke area lawan), lalu giliran lari keliling sekolah
saya maju duluan (niatnya supaya cepat sampai tapi…) malah tiba paling
belakangan, ….dan banyak lagi kegagalan suram yang tidak bisa diceritakan
satu-persatu. *ngetik ini aja saya malu berat, prestasi olahraga nol T^T
Jadi, berkat masukan nilai ujian teori, pelajaran fisik
semacam olahraga ini akhirnya batal membuat merah rapor kebanggaan saya. Tapi,
pernah suatu ketika saya duduk kelas 3, seharusnya nilainya merah (saya sadar
itu karena praktek saya memang luar biasa buruknya, yang nilai teori pun tidak
bisa menolong). Begitu saya cek rapor, ternyata saya dapat nilai kasih-sayang.
Hiks, tengkyu pak guru, jasamu takkan terlupakan. Fiuhh, hampir saja merah, yah
walaupun ini bukan hal yang patut dibanggakan, tapi saat itu rasanya seperti
lolos dari jurang kemalangan.
Berangkat dari ketidakberdayaan fisik ini, saya sudah
bertekad untuk benar-benar berhasil di ranah yang memang saya tahu caranya,
seperti dunia akademik, yang Alhamdulillah saya jalani kini. Dan menurut saya,
seseorang itu harus tahu batas diri masing-masing karena itu akan menjadi “stepping
point” di masa depannya.
Dan kemudian, dengan segala tekad untuk bisa menjadi yang
terbaik, berbagai cara saya tempuh supaya dunia akademik saya tidak
mengecewakan, terutama orangtua saya yang memang “education oriented”. Apalagi
dengan status saya yang anak pertama, rasanya seperti semua tumpuan harapan ada
di pundak. Tapi sebenarnya, saya itu tidak suka belajar lama-lama. Paling
serius bertahan setengah jam. Selanjutnya, bosan akan melanda di detik-detik
belajar yang menjemukan. Terutama kalau belajar materi yang sudah-sudah. Membaca
buku teks pelajaran itu bak menegak “sleeping pills”. Akhirnya untuk menyiasati
kondisi bosan parah ini, saya memaksakan diri untuk mengerti satu materi dalam
sekali belajar. Benar-benar maksa banget ya kan, karena pada hakikatnya tidak
ada yang bisa dipahami dalam satu waktu. Semua butuh proses. Tapi saya waktu
itu tidak mengerti esensi belajar yang sesungguhnya.
Hingga akhirnya, tibalah masa ujian akhir sekolah skala
nasional. Sekolah saya itu berada di ibukota kabupaten, tapi tidak memiliki lembaga
belajar non formal layaknya saat ini. Kalau sekarang, anak sekolah yang akan
ikut Ujian Nasional pasti mempersiapkan diri benar-benar dan sampai ikut
les-les intensif ujian akhir. Saya dan teman-teman dulu tidak punya hal yang
membantu seperti itu. Beberapa ada yang belajar kelompok. Cuma, saya dan teman
dekat saat itu memilih belajar sendiri-sendiri, karena belajar kelompok ala
kami, komposisinya 10% serius bahas soal, 90% sisanya serius gosip sana-sini
plus ngerujak, ngemil, dan ngunyah makanan lainnya. Maklum, perempuan, semua
aja jadi bahan hehehe.
Jadi, begitulah. Saya belajar sendiri sambil terkadang diiringi
musik (walau akhirnya musiknya sendiri kemana, saya sendiri sudah tenggelam kemana)
dan membahas sendiri soal-soal buku kumpulan ujian akhir, dan mengerti sendiri
semuanya. Baca soal sendiri, bahas sendiri, bingung sendiri, akhirnya paham
sendiri. Begitu terus.
Dengan segala usaha sendirian itu, ternyata saya dapat
rejeki yang tidak disangka-sangka.
Setelah selesai ujian, pasti selanjutnya harap-harap cemas
dengan hasilnya. Seperti biasa, saya berharap nilainya bagus dan memuaskan.
Saya sangat yakin itu karena mata pelajaran olahraga tidak masuk ujian akhir nasional
(wahahaha). Ketika hari pengumuman tiba, saya dan teman-teman beramai-ramai
menyerbu lapangan sekolah untuk melihat nama-nama lulusan. Sayang sekali, kami
hanya bisa melihat nama saja, karena nilai masih belum bisa diketahui hari itu.
Pulang sekolah, karena sudah tahu lulus, maka saya santai
saja dan melaporkan apa adanya ke orangtua. Kemudian di sorenya, bapak saya
pulang dan dengan wajah senyum-senyum (kelihatan sekali senangnya) bapak bicara
ke saya yang sedang gosok baju. “Ika, kata ibu guru, nilai Ika paling tinggi
ya!?,” bapak ngomong begitu. Awalnya saya tidak percaya, soalnya bapak saya
hobi bercanda dan iseng, jadi saya sempat mikir pasti kena tipu biar bahagia
semu. Orang mungkin mengira saya kok suuzon begitu, mana mungkin orangtua
sendiri mengerjai anaknya, tapi yang kenal bapak saya pasti tahu, beliau itu
bercanda sama serius susah dibedakan, kecuali kalau sedang marah. Jadi waktu
itu, saya memilih untuk tidak percaya, dan berulang kali mempertanyakan
keabsahan berita itu. Akhirnya, karena bapak menyebut nama guru saya, berikut
testimoninya, saya percaya tidak percaya juga, disertai muka yang cengengesan
bahagia.
Yah, sebenarnya mendapatkan posisi teratas se-kabupaten itu
bukan target saya. Dan gara-gara prestasi tadi, semua orang di sekolah jadi
kenal saya (bahkan merembes ketika masuk SMA). Waktu itu ada dua orang yang
nilainya sama (beda hanya di dua angka setelah koma, dan saya jadi yang kedua),
dan si peringkat satu itu adalah siswa dari sekolah lain, yang sebetulnya juga
teman saya ketika di SD.
Bagi saya pribadi, momen lulus dengan nilai tertinggi memang
momen yang fenomenal. Apalagi itu adalah masa-masa masih remaja dan memang
penuh cita-cita. Tempat saya berpijak sekarang tidak bisa lepas dari impian-impian
yang saya pupuk dari semasa putih biru. Karena kecintaan saya akan bahasa
jugalah yang membuat saya bisa meraih cita. Mungkin tidak banyak yang tahu,
saya mempelajari bahasa asing, Inggris dan yang lain, semenjak saya masih SD. Awalnya
hanya tertarik saja, tapi hal itu jugalah yang terus membuat saya bertahan
belajar di monotonnya pendidikan formal. Tidak bisa dipungkiri juga kalau minat
adalah faktor terbesar motivasi seseorang untuk terus maju. Hal ini baru saya
sadari sekarang, karena seperti yang saya akui sebelumnya, pada dasarnya saya
bosan belajar lama-lama. Ini juga pasti dirasakan banyak siswa lainnya. Oleh sebab
itu, melakukan sesuatu yang kita minati berpotensi mendukung kesuksesan kita di
masa depan.
Dan bagi saya juga, zaman putih biru itu adalah saat saya
menentukan arah hidup untuk saat sekarang. Saya bernostalgia dengan kenangan
yang telah membawa saya hingga hari ini. Ditambah lagi nostalgia dengan segala
bentuk “pemberontakan” kecil saat itu, terutama ketika tidak “mood” belajar.
Bagaimana saya dan teman-teman keluar barisan upacara dengan alasan kecapean
atau pitam (ada benarnya tapi dibumbui drama agar lebih tragis), bolos olahraga
dengan alasan sedang datang bulan (LOL), malas buat pe-er di rumah akhirnya
nyontek berjamaah (ahem), bikin diskusi di meja sendiri saat ada diskusi besar
di kelas (hihihi),…dan sederet kebandelan “anak baik” lainnya.
Semuanya itu nostalgia bagi saya.