Umumnya, aku cenderung
menganggap isu-isu itu sekadar angin lalu, meski sebenarnya sering kali itu
membuat sakit hati. Kalau kamu punya aktifitas di banyak tempat, sudah barang
tentu intrik-intrik antar sesama itu tidak akan terelakkan. Pun bila namaku dicatut-catut
dan dipersalahkan, aku cenderung mencoba berbaik sangka, yah, bisa jadi sang
pencatut memandang perilaku itu dari sudut pandang yang berbeda, aku terima
saja. Sah-sah saja. Toh, aku memang melakukan sesuatu hal, yang mungkin
terlihat tidak baik di mata orang lain. I’m fine with it, for as long as I did
do the things they said.
Tapi. Ada kalanya aku
tidak terima, dan menuntut adanya penjelasan atas mengapa aksiku dipersalahkan.
Dan bila ada kasus seperti ini, aku biasanya langsung menghubungi berbagai
pihak yang mendengar, menyampaikan dan juga menyebarkan isu-isu yang bisa
membuat kuping memerah dan hati memanas. Well, let’s say that aku tipe yang langsung-langsung
aja. Just straight to the point, speak up my mind, and get the things clear.
And, that what happens
if my actions seem to piss off some people. Kita akan mencoba berbagai cara
supaya gencatan senjata bisa dilakukan. Kalau kita tidak mencoba upaya
klarifikasi, bagaimana mungkin kita bisa damai, dan nama baik kita bisa
dipertahankan.
Begitulah. Hal yang
biasa aku perbuat jika di suatu ketika ada orang-orang yang salah paham dengan
perbuatanku, sehingga itu bisa meminimalisir persangkaan-persangkaan yang tidak
baik dari orang di sekelilingku.
Tapi. Ternyata usaha
yang dulu kulakukan untuk berdamai dengan orang-orang kali ini tidak
menghasilkan apa yang kuharapkan. Untuk membersihkan nama baik.
Kejadian itu telah
menimbulkan berita yang sangat tidak mengenakkan yang entah bagaimana caranya hingga
akhirnya namaku dan beberapa teman yang lainnya ikut terseret dalam intrik
sebuah rumah tangga.
Kenapa aku memutuskan
untuk membeberkan masalah ini ke postingan blogku itu tak lain karena dari
semenjak aku tercantum dalam penyebaran berita miring itu hingga detik ini,
sang pencetus berita (yang kebetulan berstatus seorang suami dan ayah 3 anak)
tidak bersedia membereskan kekacauan yang sudah dia timbulkan, ditambah pula
dia tidak bersedia ditemui untuk meluruskan kebenaran cerita yang terlanjur
tersebar kemana-mana dan terlanjur menjatuhkan harga diri kami di depan publik.
Sangat melecehkan, dan sangat menghinakan. Jujur saja, saat itu seperti
kehormatan kami, para muslimah, menjadi begitu terkoyak demi mendengar dan
membaca komentar-komentar yang keluar dari forum publik tersebut.
Sebagai wanita biasa,
aku merasa dilecehkan. Dan sebagai muslimah, aku merasa begitu dipermalukan.
Oleh siapa? Uh, justru oleh kaum yang seyogyanya menjadi pemimpin para wanita.
Muslim pula. Such a disgrace!
Sebenarnya, di
beberapa postingan yang lalu, ada sekitar 3 postingan, telah kusinggung sedikit
mengenai masalah ini, ya, sampai-sampai aku membuat referensi ke Surat An-Nur ayat 11-26,
yang pernah menurunkan kisah Aisyah r.a yang sempat terkena fitnah oleh
masyarakat di waktu itu. Memang, kasus yang menimpa kami, tidak dapat disandingkan
dengan beratnya penderitaan psikis yang dialami istri Rasulullah tersebut,
hanya saja kupikir, ada suatu kesamaan yang menghubungkan nasib kami dan nasib
beliau. Ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan fitnah! Dan, berita bohong
itu adalah kebenaran yang diada-adakan.
Jadi, setelah
mempertimbangkan beberapa hal, aku putuskan untuk ‘curhat’ di sini (like I usually do). Silakan
berpendapat apapun. Mungkin akan ada yang menganggap postingan ini seperti
membuka aib, aib siapapun itu, namun... ada sebuah pandangan hidup yang aku
pegang sampai sekarang ini.
“Lebih baik mengetahui
langsung dari sumbernya, supaya kau tahu duduk perkara sebenarnya.”
----
Hari itu sebetulnya
aku baru saja tiba di Banda Aceh, setelah dua bulan lebih mengikuti pelatihan
di Jakarta. Begitu kubuka akun fesbuk, seorang seniorku (kita sebut dia BG)
menyapa di chat. Ngobrol beberapa saat, dia tiba-tiba bertanya tentang masalah
seorang teman (selanjutnya akan kusebut dengan julukan Dodol Jenang—untuk
menunjukkan tingkat intelejensinya dalam memperkeruh kasus), apakah aku tahu
sesuatu atau tidak. Karena memang buta tentang apa yang terjadi, segera saja
kujawab ‘tidak tahu’...
Lanjut chatting, BG
menyebut beberapa nama teman dekatku, yang akan kusingkat jadi CS1 dan CS2.
Lalu, karena kadung penasaran mengapa tiba-tiba ditanya begitu, aku langsung
menodong cerita selengkapnya. Maka, dimulailah petaka tahun itu.
Singkat cerita, si
Dodol Jenang amat murka karena beberapa muslimah berkumpul dalam suatu halaqah
dan khusus membahas masalah ‘perceraian’ keluarganya. Lantas, kemurkaannya
dilampiaskan ke dalam status fesbuknya... tapi aku dan beberapa teman yang
tertuduh tidak tahu karena, ah... dia telah me-remove kami dari pertemanan di
jejaring sosialnya. Ternyata, tak ada arti pertemanan kami sejak SMA dengannya.
Yeah, people do change...
Namun, bukan berarti
statusnya tidak terbaca, karena tanpa disangka-sangka akunya tidak disetting
‘private’ sehingga kami tetap bisa membaca semua komentar-komentar miring dan
cukup menyayat hati dari... uh, pria-pria yang mengaku dirinya muslim sejati...
Mereka pasti tidak
sadar, atau mereka tidak tahu? Bahwa kata-kata itu sama tajamnya dengan pedang.
Ya, lidah memang tidak bertulang, tapi dalamnya torehan luka karenanya melebihi
pedihnya tusukan pedang. Teman-temanku yang membacanya (meski tidak ikut terkena
isu ini) bisa merasa kecewa dan sakit hati, lalu, dapatkah kau bayangkan
bagaimana perasaanku saat itu?
Bagiku, apa yang
mereka maksudkan tidak akan sangat membuat sakit jika seandainya aku dan mereka
tidak berteman. Tetapi, mereka adalah temanku dari SMA, dan biarpun tidak
pernah bertemu lagi karena kesibukan, dan hanya bisa bertegur sapa melalui
dunia maya... toh, kami tetap berhubungan baik. Malah, beberapa minggu
sebelumnya, si Dodol Jenang itu menyapa lewat chattingan... dan masih bisa bercanda-canda...
lalu, begitu terhasut isu itu, dia bisa berubah sangat keji. Mengeluarkan kata cacian,
dan bahkan mendoakan keburukan... tidak pernah kusangka dia akan jadi pria
seperti itu. Tanpa mencoba mencari tahu kebenaran isu itu, dia membabi buta
menyalahkan kami seolah-olah kerja kami sehari-hari adalah membicarakan
kejelekan rumah tangganya. Betapa nistanya!
Sebelumnya, aku
padahal sudah berjanji dalam hati... apapun perkataan yang keluar dari
orang-orang yang terhasut itu, aku tetap akan bisa tidak peduli.
Pada kenyataannya, aku
memang seorang wanita biasa. Tetap saja merasa terhina... dan sehingga, di satu
titik yang tidak bisa kutahan lagi, air mata itu pun menetes juga. Ketika itu, kata-kata
hinaan itu, yang di situasi biasa akan kutepis bagai angin lalu... terasa
sangat menjatuhkan marwahku. Harga diriku.
Bisa-bisanya kami
dianggap ‘menyukai suami orang’, ‘tidak senang karena dia menikah dengan
istrinya sekarang’, ‘gak nyadar kalau dia sudah punya anak TIGA!!’... belum
lagi saran-saran yang sangat menohok hati. “Nikah sana, biar ada yang bisa
diurus... jangan sibuknya ngurusin rumah tangga orang lain.” Astagfirullah, dan
bahkan menyarankan untuk ikut halaqah satu tingkat lagi biar agamanya tambah
bagus. Belum lagi tuduhan yang semakin membuat darah mendidih, “Tega kalian
makan bangkai teman sendiri.”
Aku tergugu.
Padahal mereka belum
tahu apa-apa, hanya dari perkataan satu pihak saja. Dan mereka sudah mendoakan
kami semua dengan kata-kata mereka. Apa mereka pikir, karena kami belum menikah
maka kami begitu mempunyai waktu luang hingga ribut-ribut dalam rumah tangganya
kami sebarluaskan? Atau karena kami belum menikah itu sama dengan tidak
laku-laku dan tidak ada pria normal yang bersedia menjadi suami kami, sehingga
kami begitu putus asanya hingga mendoakan keburukan dan perceraian terjadi atas
mereka lalu salah satu dari kami bisa menjadi istrinya? Menjijikkan.
Apa itu
hasil didikan tarbiyah yang mereka jalani bertahun-tahun ketika mereka masih
menjadi mahasiswa? Sungguh tidak mencerminkan akhlak seorang muslim yang
rahmatan lil alamin... Apa perlu kusebut deretan pria yang melamar? Jumlah
mereka? Nama mereka? Supaya mereka tahu, menjadi istri si Dodol Jenang itu
bukan segalanya, dan justru merupakan malapetaka. Aku marah sekali, dan amat
sangat tersinggung dengan semua komentar sinis mereka.
Seandainya istrinya
tahu, suaminya lah yang malahan bercanda dan menyinggung poligami disaat
chatting. Apa mereka tahu? Si Dodol Jenang itulah yang menciptakan awal kisruh
ini. Dan istrinya pun tak jauh bedanya. Setelah mengumbar nama-nama kami
dihadapan suaminya, dan mengarang cerita kalau kami bergosip ria membicarakan
kemungkinan mereka bercerai, dia memilih cuci tangan dari kekeruhan ini.
Intinya, seperti
kukatakan di awal tadi, setiap namaku dicatut dan dipersalahkan atas suatu hal,
aku ingin segera pelurusan masalah. Termasuk di kasus yang tidak menyenangkan
ini.
Di keesokan hari,
setelah kabar yang kudapat itu, aku dan CS1—yang kebetulan merupakan teman si
istri, sebut saja dia Keripik Pedas, menghubunginya dan menyatakan ingin
kerumah mereka untuk membahas masalah ini, sekaligus ingin mengklarifikasi
apakah benar berita yang kami dapat dari BG.
Keripik Pedas ini, si
istri ini, tahu tidak apa yang dia lakukan? Dia membalas pesan singkat kami
dengan tanpa rasa tanggung jawab. Pesannya kurang lebih begini: “Assalamualaikum
wr wb, antum dan antunna sekalian, semua masalah yang ada kaitannya dengan si
Dodol Jenang (nama asli disamarkan—karena saya masih punya nurani—red), silakan
langsung hubungi dia saja. Saya tidak mau dihubungkan dengan masalah ini.
Wassalam.”
Deng. Sudah, begitu
saja dia menyelesaikan ini. Alhasil, kami bingung harus bagaimana, karena dia
menolak kerjasama.
Perjuangan kami tidak
berhenti sampai disitu. Si CS2 pun mencoba menghubungi Dodol Jenang untuk
konfirmasi... dan dia pun sama tidak kooperatifnya. Pernyataan dia pun tak kalah
innocent-nya. “Kalau kalian gak merasa berbuat, ya sudah.”
[Aku sampai
berkesimpulan, Maha Benar Allah dengan Segala Firman-Nya. Wanita baik-baik,
untuk pria baik-baik. Wanita tidak baik-baik, untuk pria tidak baik-baik. Si
Dodol Jenang dan Keripik Pedas, benar-benar ditakdirkan satu sama lain. Selamat!]
Very well, memang dipikir-pikir kenapa malah
kami yang repot jungkir balik mencari ide untuk berbaikan dengan dia, ya
memang. Harusnya kami tidak perlu repot begini... kalau dia tidak menyebutkan
namaku, CS1, CS2, CS3... di WARUNG KOPI! Bah, sebuah forum yang pas sekali
untuk menyebar nama kami ke seantero kota sebagai ‘wanita tukang gosip rumah
tangga orang’.
Sehubungan dengan
insiden penyebutan nama ini, Dodol Jenang mengelak dengan alasan bahwa dia
tidak menyebut nama kami, tetapi teman-temannya lah yang menyebutnya. Lantas,
dia pun tidak merasa perlu menjelaskan kepada mereka tentang apakah benar kami
melakukan itu atau tidak. Katanya, “itu urusan mereka mau berpikir tentang
siapa.” Ha, very nice person indeed. Heran juga, kenapa tidak kusadari dia
orang bermuka dua begini sejak dulu-dulu.
Selanjutnya, temanku
CS3 mencoba bertanya kebenaran isu ini, dan lagi-lagi Dodol Jenang mengelak.
Lalu, begitu ditodong mengapa tiba-tiba kami di-remove dari akun fesbuknya, dia
pun berargumen, “Waktu itu aku buka fesbuk pakai hp, jadi tanpa sengaja, nama
kamu ter-remove dari fesbuk.” Heh, really? Siapa sih yang coba dia kibuli? Anak
balita? Gimana caranya 4 nama bisa ter-remove dari list pertemanan, mengingat
nama kami semua tidak berurutan... apa akunnya punya fasilitas ‘auto unfriend’?
Semakin kutahu, aku makin tak bisa percaya dia itu orang yang sama dengan orang
yang kukenal dulu...
---
Cerita ini di titik
tertentu memang nyesekin. Aku tidak peduli walau kata sepedih apapun ditujukan
ke aku pribadi, kalau orang itu tidak kukenal sama sekali, atau orang yang baru
kenal dan bisa jadi tidak begitu mengenalku.
Tapi, cerita menjadi
berbeda bila subjek juga berbeda. Efeknya sudah barang tentu akan berbeda.
Terhitung kurang lebih
5-6 tahun aku tidak bertemu si Dodol Jenang, dan aku baru tahu kalau dia sudah
punya anak tiga orang. Bukannya pernikahan mereka harusnya bahagia? Jadi,
ketika aku terseret ke isu bahwa ada kisruh dalam pernikahannya dan dituduh
ikut memperpanjang berita miring itu di dalam forum, jelas aku menuntut
perbaikan nama. Karena, hingga sekarang aku tidak mendengar ucapan maaf darinya,
meski kata BG (seniorku itu) si Dodol Jenang telah berjanji akan memperbaiki
keadaan.
Tulisan ini, akan
terbaca sangat blak-blakan di satu sisi... tapi, aku memandang ini perlu
kulakukan. Di suatu saat nanti, mungkin akan ada yang mendengar tentang kasus
ini secara sepihak lagi, maka ini adalah langkah preventif yang bisa aku
perbuat.
Apa sih yang bisa kau
lakukan bila kau tidak punya bukti apapun untuk menjelaskan ketidakbersalahan
dirimu?
Isu ini dimulai dari kecemburuan seorang istri, yang hanya mendasarkan
kebenaran dari ucapannya semata dan berkata bahwa beberapa wanita membicarakan
perceraian di antara mereka dan juga betapa ruginya si suami karena tidak
menikah dengan wanita yang pernah dijodohkan dengannya di masa lalu. Perkataan
itu kemudian diamini oleh si suami, yang membuang akal sehatnya dan termakan
hasutan dan amarah si istri, yang lalu melepas isi hatinya ke hadapan dunia...
maka, apakah menurutmu, tidak akan adakah orang yang simpati?
Lalu, bagaimana dengan
kami? Yang juga berusaha meyakinkan orang dengan ucapan juga? Menurutmu, yang
manakah yang akan dibela?
Untuk itulah, aku
menulisnya. Aku bercerita, karena aku ingin orang bisa belajar satu hal saja.
Bersangka baiklah.
Karena bila kau
berburuk sangka, maka kebaikanmu selama hidup takkan ada artinya.