Configuration

"between the good and the bad is where

you'll find me reaching for heaven"















FrenshiPath

Daisypath - Personal pictureDaisypath Friendship tickers

Tuesday, November 29, 2016

Mari Bernostalgia: Back to Masa Putih Biru

Zaman putih biru itu dalam sejarah hidup seorang wanita dewasa (deu) seperti saya bisa dibilang zaman paling monumental. Termasuk juga masa menemukan jati diri.

Bagian monumental dalam sejarah saya ini sebetulnya erat kaitannya dengan kebiasaan dan kebisaan saya sebagai seorang siswa SMP. Masa menduduki bangku SMP ini, saya mengkategorikan diri sebagai fan berat komik Jepang, berikut anime-nya, saya juga pecinta berat novel berbau detektif dan sebangsanya, termasuk juga penikmat berat lagu Barat dan bahasanya. Salah satu bahasa yang paling saya minati kala itu adalah bahasa Inggris.

Bicara tentang bahasa Inggris, sejujurnya ini jugalah yang menjadi pelajaran favorit di sekolah. Bisa dibilang yang membuat saya bertahan di bangku pendidikan formal ini ya, pelajaran bahasa Inggris. Semacam oase begitu, hehehe. *iyah maap, ini hiperbola*

Kalau diingat-ingat, sebenarnya saya bukan yang ahli sekali bahasa Inggris masa itu, tapi entah kenapa sebagian besar teman sekolah seringnya diskusi pe-er bahasa Inggris dengan saya. Mungkin karena efek suka pelajaran ini yang sedemikian tingginya sehingga menciptakan suatu daya tarik magnetis yang membuat orang mengira saya jagonya (aih, ngomong apa ini). Dan karena pada dasarnya saya orang yang kompetitif dan tidak suka kelihatan tidak tahu, sudah pasti saya berusaha memberikan jawaban yang memuaskan pemirsa budiman…kecuali sedang “bad mood”. *ups*

Singkat cerita, zaman putih biru adalah zaman ketika saya menisbatkan diri sebagai pecandu bahasa.

Lalu bagaimana kabar pelajaran sekolah yang lainnya? Sebodo amat.  Sebagai seorang siswa yang tidak suka punya nilai jelek di akademik, sudah barang tentu saya tetap fokus belajar untuk mata pelajaran selain bahasa. Bukan rahasia lagi kan kalau siswa sekolah itu belajarnya sangat beragam, serta mesti menguasai semua tawaran pelajaran yang ada. Otomatis, pelajaran seperti matematika, fisika, kimia, biologi (IPA, kalau di SMP), ekonomi, geografi (IPS, kalau di SMP), sejarah, PPKN, agama, kesenian, dan olahraga harus bisa dikuasai. Oleh karena itu, saya di kala itu me”wajib”kan diri sendiri untuk bisa berada di 5 besar peringkat kelas. Benar-benar “mental breakdown” kalau saya mendapati diri gagal di mata pelajaran tadi. Kenapa begitu? Karena saya cuma bisanya itu, “academic-oriented”. Jujur saja, saya iri melihat orang lain yang punya keahlian yang menggunakan keterampilan fisik. Contohnya, pintar gambar (lukis, desain, arsitektur, komik, dll), pintar jahit, prakarya, atau juga pintar olahraga (termasuk senam, dll). Kesemua “skill” tadi itu, tidak satupun yang mampu saya lakukan dengan baik. Saya bisa teorinya, tapi tidak di prakteknya. *hela napas*

Kalaulah pelajaran sekolah, seperti kesenian dan olahraga, hanya mengambil nilai praktek, insya Allah kondisi rapor sekolah saya tidak bisa dibanggakan (uhuk). Sering saya merasa kurikulum pendidikan formal kita memang menguntungkan orang-orang yang “non-physical skill oriented” seperti saya. Coba misalnya guru olahraga saya fokusnya di ujian praktek, aduh duh, bisa-bisa masa putih biru saya kelam-sekelamnya (yang akan dilanjutkan kekelamannya di masa putih abu-abu).

Dulu saya sangat antipati kalau sudah masuk pelajaran olahraga (satu lagi yang bikin alergi itu matematika, tapi masih bisa ditanggulangi dengan belajar), karena mau bagaimanapun saya usaha, tetap saja “fail”. Mungkin karena ini juga, ada obsesi tersendiri untuk berhasil yang justru membuat saya suka sekali menonton segala yang berbau olahraga. Pokoknya saya tahu semua jenis olahraga, hanya jangan suruh saya praktek saja. Please!

Dalam skala 1-100, nilai praktek olahraga saya itu memalukan, karena poin 50 saja tidak pernah sampai. Lari 5 menit perut sudah kram, koprol rusak total, push-up jatuh bangun, sit-up gagal bangun, servis bola voli tidak sampai lewat net (guru saya saking frustasinya, akhirnya menyuruh saya berdiri persis depan net biar bola sukses ke area lawan), lalu giliran lari keliling sekolah saya maju duluan (niatnya supaya cepat sampai tapi…) malah tiba paling belakangan, ….dan banyak lagi kegagalan suram yang tidak bisa diceritakan satu-persatu. *ngetik ini aja saya malu berat, prestasi olahraga nol T^T

Jadi, berkat masukan nilai ujian teori, pelajaran fisik semacam olahraga ini akhirnya batal membuat merah rapor kebanggaan saya. Tapi, pernah suatu ketika saya duduk kelas 3, seharusnya nilainya merah (saya sadar itu karena praktek saya memang luar biasa buruknya, yang nilai teori pun tidak bisa menolong). Begitu saya cek rapor, ternyata saya dapat nilai kasih-sayang. Hiks, tengkyu pak guru, jasamu takkan terlupakan. Fiuhh, hampir saja merah, yah walaupun ini bukan hal yang patut dibanggakan, tapi saat itu rasanya seperti lolos dari jurang kemalangan.

Berangkat dari ketidakberdayaan fisik ini, saya sudah bertekad untuk benar-benar berhasil di ranah yang memang saya tahu caranya, seperti dunia akademik, yang Alhamdulillah saya jalani kini. Dan menurut saya, seseorang itu harus tahu batas diri masing-masing karena itu akan menjadi “stepping point” di masa depannya.

Dan kemudian, dengan segala tekad untuk bisa menjadi yang terbaik, berbagai cara saya tempuh supaya dunia akademik saya tidak mengecewakan, terutama orangtua saya yang memang “education oriented”. Apalagi dengan status saya yang anak pertama, rasanya seperti semua tumpuan harapan ada di pundak. Tapi sebenarnya, saya itu tidak suka belajar lama-lama. Paling serius bertahan setengah jam. Selanjutnya, bosan akan melanda di detik-detik belajar yang menjemukan. Terutama kalau belajar materi yang sudah-sudah. Membaca buku teks pelajaran itu bak menegak “sleeping pills”. Akhirnya untuk menyiasati kondisi bosan parah ini, saya memaksakan diri untuk mengerti satu materi dalam sekali belajar. Benar-benar maksa banget ya kan, karena pada hakikatnya tidak ada yang bisa dipahami dalam satu waktu. Semua butuh proses. Tapi saya waktu itu tidak mengerti esensi belajar yang sesungguhnya.

Hingga akhirnya, tibalah masa ujian akhir sekolah skala nasional. Sekolah saya itu berada di ibukota kabupaten, tapi tidak memiliki lembaga belajar non formal layaknya saat ini. Kalau sekarang, anak sekolah yang akan ikut Ujian Nasional pasti mempersiapkan diri benar-benar dan sampai ikut les-les intensif ujian akhir. Saya dan teman-teman dulu tidak punya hal yang membantu seperti itu. Beberapa ada yang belajar kelompok. Cuma, saya dan teman dekat saat itu memilih belajar sendiri-sendiri, karena belajar kelompok ala kami, komposisinya 10% serius bahas soal, 90% sisanya serius gosip sana-sini plus ngerujak, ngemil, dan ngunyah makanan lainnya. Maklum, perempuan, semua aja jadi bahan hehehe.

Jadi, begitulah. Saya belajar sendiri sambil terkadang diiringi musik (walau akhirnya musiknya sendiri kemana, saya sendiri sudah tenggelam kemana) dan membahas sendiri soal-soal buku kumpulan ujian akhir, dan mengerti sendiri semuanya. Baca soal sendiri, bahas sendiri, bingung sendiri, akhirnya paham sendiri. Begitu terus.

Dengan segala usaha sendirian itu, ternyata saya dapat rejeki yang tidak disangka-sangka.

Setelah selesai ujian, pasti selanjutnya harap-harap cemas dengan hasilnya. Seperti biasa, saya berharap nilainya bagus dan memuaskan. Saya sangat yakin itu karena mata pelajaran olahraga tidak masuk ujian akhir nasional (wahahaha). Ketika hari pengumuman tiba, saya dan teman-teman beramai-ramai menyerbu lapangan sekolah untuk melihat nama-nama lulusan. Sayang sekali, kami hanya bisa melihat nama saja, karena nilai masih belum bisa diketahui hari itu.

Pulang sekolah, karena sudah tahu lulus, maka saya santai saja dan melaporkan apa adanya ke orangtua. Kemudian di sorenya, bapak saya pulang dan dengan wajah senyum-senyum (kelihatan sekali senangnya) bapak bicara ke saya yang sedang gosok baju. “Ika, kata ibu guru, nilai Ika paling tinggi ya!?,” bapak ngomong begitu. Awalnya saya tidak percaya, soalnya bapak saya hobi bercanda dan iseng, jadi saya sempat mikir pasti kena tipu biar bahagia semu. Orang mungkin mengira saya kok suuzon begitu, mana mungkin orangtua sendiri mengerjai anaknya, tapi yang kenal bapak saya pasti tahu, beliau itu bercanda sama serius susah dibedakan, kecuali kalau sedang marah. Jadi waktu itu, saya memilih untuk tidak percaya, dan berulang kali mempertanyakan keabsahan berita itu. Akhirnya, karena bapak menyebut nama guru saya, berikut testimoninya, saya percaya tidak percaya juga, disertai muka yang cengengesan bahagia.

Yah, sebenarnya mendapatkan posisi teratas se-kabupaten itu bukan target saya. Dan gara-gara prestasi tadi, semua orang di sekolah jadi kenal saya (bahkan merembes ketika masuk SMA). Waktu itu ada dua orang yang nilainya sama (beda hanya di dua angka setelah koma, dan saya jadi yang kedua), dan si peringkat satu itu adalah siswa dari sekolah lain, yang sebetulnya juga teman saya ketika di SD.

Bagi saya pribadi, momen lulus dengan nilai tertinggi memang momen yang fenomenal. Apalagi itu adalah masa-masa masih remaja dan memang penuh cita-cita. Tempat saya berpijak sekarang tidak bisa lepas dari impian-impian yang saya pupuk dari semasa putih biru. Karena kecintaan saya akan bahasa jugalah yang membuat saya bisa meraih cita. Mungkin tidak banyak yang tahu, saya mempelajari bahasa asing, Inggris dan yang lain, semenjak saya masih SD. Awalnya hanya tertarik saja, tapi hal itu jugalah yang terus membuat saya bertahan belajar di monotonnya pendidikan formal. Tidak bisa dipungkiri juga kalau minat adalah faktor terbesar motivasi seseorang untuk terus maju. Hal ini baru saya sadari sekarang, karena seperti yang saya akui sebelumnya, pada dasarnya saya bosan belajar lama-lama. Ini juga pasti dirasakan banyak siswa lainnya. Oleh sebab itu, melakukan sesuatu yang kita minati berpotensi mendukung kesuksesan kita di masa depan.

Dan bagi saya juga, zaman putih biru itu adalah saat saya menentukan arah hidup untuk saat sekarang. Saya bernostalgia dengan kenangan yang telah membawa saya hingga hari ini. Ditambah lagi nostalgia dengan segala bentuk “pemberontakan” kecil saat itu, terutama ketika tidak “mood” belajar. Bagaimana saya dan teman-teman keluar barisan upacara dengan alasan kecapean atau pitam (ada benarnya tapi dibumbui drama agar lebih tragis), bolos olahraga dengan alasan sedang datang bulan (LOL), malas buat pe-er di rumah akhirnya nyontek berjamaah (ahem), bikin diskusi di meja sendiri saat ada diskusi besar di kelas (hihihi),…dan sederet kebandelan “anak baik” lainnya.

Semuanya itu nostalgia bagi saya.

Tuesday, November 1, 2016

Kuliah Dua Tempat: A Double-Edged Sword


Kuliah dua jurusan di dua universitas yg berbeda itu sudah fenomena biasa di dunia akademik. Kalau ditanya kenapa mau kuliah dua, pasti jawabannya macam-macam, mulai dari passion/interest yg memang di dua jurusan tadi, permintaan orangtua, sampai iseng saja. Lho? Bisa iseng saja? Yah, memang ada orang yg kuliah itu dg dua misi: jurusan A utk masa depan, jurusan B utk isi waktu senggang. Well, to each their own.

Tapi. Ada tapinya, lho.

Kebanyakan orang yg kuliah di dua tempat itu punya challenges yg sama: time management dan stress management.

Ketika waktu yg tersedia tidak banyak, dan umumnya mepet-mepetan, mayoritas para dualer (mahasiswa kuliah dua-red) kerepotan membagi jam terbangnya. Bayangkan saja, di kampus A kuliah 24 SKS, di kampus B kuliah 24 SKS. Apa gak stress?!

Saya contohkan saja kondisi saya sendiri ketika jadi dualer. Baru selesai jam di kampus A, saya sdh harus angkat kaki utk menuju kampus B, yg akhirnya bisa tercapai sambil ngos-ngosan di ruang kuliah. Lain lagi ketika hrs rela dipalang absensi krn tdk ikut kelas di kampus A berhubung bentrok dg jadwal midterm di kampus B. Mau nangis tapi gak keluar air mata. It was a hard choice, really.

Nah, tapi dg segala kerepotan itu, kenapa masih mau jadi dualer? Jawabannya kembali ke alinea satu di atas tadi. Dan, kalau saya sendiri kebetulan krn kurang kerjaan saja, eh, krn memang dua bidang itu saya minati.

Hanya saja, ada hal yg patut disayangkan. Ketika kuliah itu bukan atas motivasi pribadi, dan lebih krn tuntutan/ambisi orangtua.

Beberapa orang mengaku kuliah dua krn dia harus mengakomodasi dua keinginan. Satu, jurusan pilihan hatinya, yang satu lagi jurusan pilihan orangtua. Alhasil, sampai sekarang mereka belum selesai di jurusan pilihan orangtuanya, padahal jurusan pribadinya sudah dari tahun kuda dia selesaikan. Poor souls!

In this case, sepertinya para dualer terdesak ini harus menggunakan sedikit trik agar orangtuanya rela mereka tidak melanjutkan lagi, sehingga mereka tidak perlu stress berkepanjangan juga. Mungkin tips saya dulu bisa digunakan ketika saya memutuskan tdk kuliah lagi di kampus B. Hehehe

Walaupun kuliah dua itu pilihan saya sendiri, tapi orangtua saya sudah warning dari awal, kalau saya tdk boleh sekali-kali balik badan setelah maju jalan a.k.a dua-duanya harus selesai. Oleh krn itu, mempertimbangkan warning tadi, saya memanfaatkan momen tsunami sbg 'alasan' keluar dr jurusan di kampus B, yg kebetulan di prodi ilmu keperawatan. Yah, saya akui saja kalo saya tdk sanggup "lihat korban berdarah" dan bisa "pingsan" nantinya...dan sederet alasan horor supaya diaminkan permintaan saya.

Jadi, daripada status tidak jelas di jurusan non pilihan, sebaiknya dicari jalan keluar supaya tidak berlarut-larut kuliah penuh kepedihan mental spiritual. Pasti ada jalan... krn yg terbaik utk setiap orang itu adalah yg terbaik.

*(Nasehat apa sih ini, haha)

Sekian dari mantan dualer
Best,

Monday, May 30, 2016

Oh well...

just opened my blog again after God-knows how long...

and oh well, the last post was in July last year.

Great.

that tells something.