Configuration

"between the good and the bad is where

you'll find me reaching for heaven"















FrenshiPath

Daisypath - Personal pictureDaisypath Friendship tickers

Friday, June 11, 2010

"Secangkir Teh di Tengah Taman"

“Si Cangkir Cantik Rupa”

Aku pernah membaca di sebuah buku tentang kisah sebuah cangkir. Sang pengarang membawakan cerita dengan jelas. Ia menggunakan gaya penulisan yang indah dan menarik. Aku mengagumi caranya membandingkan antara kehidupan manusia dengan nasib si cangkir. Namun, bukan itu maksudku memberitahukan hal ini.

Saat kutelusuri kata demi kata, sel-sel kelabuku berputar cepat. Aku berusaha mencerna dengan baik, dan kukira aku bisa mengerti maknanya yang tersirat itu.
Tahu tidak, bagaimana sebuah cangkir cantik itu dibuat?

Bukan rahasia lagi, bila kukatakan kalau cangkir sebenarnya berasal dari tanah liat. Ia tidak berharga sama sekali, sampai seorang pengrajin menemukannya. Ia hanya tanah liat. Kotor dan lembek. Tercampakkan dan terbuang.

Nah, bagi si calon cangkir ini, untuk menjadi sebuah barang indah memakan jangka waktu yang panjang dan sulit. Ia harus rela membiarkan dirinya dibanting kasar, diberi bentuk, lalu diputar tanpa belas kasihan oleh si pengrajin hingga pusing, hingga si pengrajin menganggapnya pantas dan laik guna.

Tidak berhenti sampai di situ, si tanah liat bentuk cangkir masih tetap menjalani prosesi pematangan diri. Jika bentuk sudah oke, ia akan segera dimasukkan ke dalam tungku bertemparatur tinggi. Kemudian, ia baru dikeluarkan untuk diberi sentuhan akhir dengan bermacam warna, dan akhirnya berubah. Berubah menjadi sesuatu yang lebih baik, lebih cantik, dan bahkan lebih terhormat.

Tidak akan ada lagi orang yang memandangnya sebelah mata.

Manusia…mengalami hal yang serupa ‘kan?
----------------------------------------
---------------------------

“Harga Sebatang Lidi”

Tahukah kamu mengapa sebatang sapu lidi begitu murah harganya? Begitu murahnya sampai-sampai ia jauh lebih murah daripada seteguk air penghilang dahaga.

Padahal, ia harus dipetik dari pepohonan kelapa yang ditanam di dusun-dusun jauh di pedalaman. Ia pun harus diserut, dihaluskan, diikat kuat agar mudah digunakan dan tak melukai tangan. Ia harus diangkut oleh banyak kendaraan, melewati banyak pasar, dan naik turun timbangan penawaran.

Sebabnya adalah karena ia dipetik oleh tangan-tangan kecil yang tak menuntut banyak upah. Ia dijalin oleh wanita-wanita yang tak menghitung laba rugi. Ia juga dipikul oleh bahu-bahu legam pria yang tak terlalu mengerti transaksi jual beli.

Sebatang sapu lidi itu begitu murahnya sampai di tangan kita, karena orang-orang itu tak menghitung jerih payah kerjanya. Merekapun tak mengkalkulasikan butir-butir keringatnya.

Maka, mari kita sadari bahwa dibalik kemurahan dan kemudahan yang kita cerap sekarang ini, terselip cerita tentang pengorbanan yang jauh lebih berharga ketimbang harga seluruh sapu lidi yang bisa kita beli.
--------------------------------
---------------------

“Cinta dan Waktu”

Alkisah, terdapatlah sebuah pulau dimana semua jenis perasaan tinggal, yaitu kesenangan, kesedihan, ilmu, kesombongan, dan kawan-kawan, termasuk cinta.

Suatu hari diumumkan kepada semua perasaan bahwa pulau itu akan tenggelam ke dasar lautan. Tidak lama kemudian semua perasaan bergegas mempersiapkan perahu masing-masing untuk pergi dari pulau itu.

Tinggallah Cinta seorang diri. Dia memutuskan untuk tinggal di pulau dan memelihara keindahannya sampai saat-saat terakhir. Namun, ketika pulau itu hampir sepenuhnya tenggelam, akhirnya Cinta memutuskan untuk pergi juga. Dia mulai mencari pertolongan dari teman-temannya. Tak berapa lama, Kekayaan lewat sambil mengemudikan perahunya yang besar dan megah.

Kemudian Cinta bertanya, “Kekayaan, bolehkah aku ikut denganmu?” Jawab Kekayaan, “Maafkan aku, tapi kapalku sudah penuh dengan emas dan perak. Tak ada lagi tempat untukmu.”

Lalu Kesombongan lewat dengan kapalnya yang indah. Sekali lagi Cinta memohon, “Kesombongan, tolonglah aku!” “Kamu basah kuyup, aku takut kapalku yang indah ini akan rusak!”

Kemudian Kesedihan muncul, Cinta berkata, “Kesedihan, izinkanlah aku ikut denganmu!” Kesedihan berkata, “Maafkan aku Cinta, saat ini aku sedang ingin sendiri.”

Akhirnya Cinta melihat perahu Kesenangan lewat. Cinta menjerit memohon, “Kesenangan, tolong bawa aku bersamamu!” Tapi Kesenangan terlalu larut dalam kegembiraannya hingga tak mendengar jerit tangis Cinta.

Cinta mulai berputus asa, ketika tiba-tiba dia mendengar suara berkata, “Ayo Cinta, aku akan membawamu pergi bersamaku.” Ternyata seorang kakek tua telah berbaik hati mengajaknya serta. Ketika mereka telah mendarat pada suatu pulau, kakek itu segera pergi meneruskan perjalanannya.

Sementara Cinta merasa sangat senang dan bahagia hingga dia lupa untuk berterima kasih pada kakek yang telah menyelamatkannya. Cinta sadar betapa ia sangat berhutang budi pada kakek itu. Kemudian Cinta bertemu dengan Ilmu dan bertanya, “Siapakah kakek yang telah menolongku itu?”

“Dia adalah Waktu,” jawab Ilmu.
“Tetapi mengapa Waktu mau menolongku sedang yang lain tidak?” tanya Cinta lagi. Ilmu tersenyum lalu dengan bijak dan tulus menjawab, “Karena hanya waktu yang mampu memahami betapa agungnya cinta.”


(dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment