Configuration

"between the good and the bad is where

you'll find me reaching for heaven"















FrenshiPath

Daisypath - Personal pictureDaisypath Friendship tickers

Monday, June 20, 2011

Lir-ilir, Hiduplah Bagai Air Mengalir...

Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar

Cah angon, cah angon 
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno 
Kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro, dodotiro 
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono, jlumatono 
Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane 
Yo surak'o, surak hiyo… 

Tembang tradisional di atas kerap dilantunkan olehku dan teman-teman sepermainan waktu masih bocah dulu. Persisnya saat aku masih sekolah di sebuah TK di Yogya. Sayangnya, aku tidak begitu ingat jelas apa permainannya, karena itu terjadi kala aku masih sangat imut sekali (ehm).

Seingatku, tembang itu kami nyanyikan sama-sama sambil bermain macam-macam. Mungkin, karena begitu seringnya kami melantunkannya, aku samar-samar masih mengingat beberapa lirik tembang tadi.

Hanya saja, aku tidak hapal seluruh bait syairnya, sehingga aku mencoba bertanya ke ibuku, yang kemudian mengaku tidak hapal juga, yah, akibat faktor usia mungkin... hehehe.

Akhirul cerita, aku mencari lirik lengkapnya di Google. Dan, sungguh mengagumkan, ternyata ada banyak situs yang menyebutkan tembang tersebut... beserta artinya.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau dolanan yang kami bawakan saat kecil dulu ternyata mengandung makna yang begitu dalam. Dan bahwa sebenarnya, tembang tersebut digubah oleh para Walisongo yang masyhur di tanah Jawa. Namun, tidak diketahui secara pasti Wali yang mana yang telah menciptakannya, karena sumbernya sangat kabur. Ada yang menyebut Sunan Bonang, atau Sunan Kalijaga, atau Sunan Ampel, tapi yang pasti, semua Walisongo tersebut menjadikan dolanan ini sebagai alat penyebaran Islam di tanah Jawa.

Para Walisongo memang terkenal suka menyebarkan Islam di Jawa dengan media budaya atau instrumen, seperti gambelan. Hal ini sangat efektif mengingat masyarakat Jawa menyukai musik dan tarian, sehingga Islam bisa diterima dengan tanpa paksaan.

Lalu, dolanan anak-anak juga merupakan cara para Walisongo untuk mengenalkan Islam, terutama di kalangan anak kecil. Salah satunya adalah tembang di atas, yang berjudul "Lir ilir".

Lir ilir ini punya arti yang kuat bila kita ingin mengurai per kata syair lagunya. Dan bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, maka artinya kurang lebih begini: 

Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau 
Bagaikan gairah pengantin baru

Anak penggembala, 
tolong panjatkan pohon blimbing itu
Walaupun licin(susah)
tetap panjatlah untuk mencuci pakaian

Pakaian-pakaian yang koyak(buruk)disisihkan
Jahitlah, benahilah, untuk menghadap nanti sore

Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…

Dan, bila kita ingin membedah makna simbolik yang tersebut dalam tembang Lir ilir ini, maka akan kita dapatkan maksud sebenarnya dari para Walisongo dahulu dalam usaha mereka menyebarkan Islam ke semua lapisan masyarakat.

Simbol-simbol yang tercantum seperti cah angon atau temanten anyar, merupakan kiasan para Wali untuk merujuk pada hal-hal dalam masyarakat, dan juga karena para Wali sangat mengerti psikologi orang-orang Jawa yang cenderung menggemari simbol-simbol.

Dengan cara ini, para Wali telah mendekati hati masyarakat dengan menyusupi relung-relung jiwa mereka secara tidak langsung agar memahami Islam dan mengamalkannya selalu senantiasa.

Di bawah ini adalah uraian singkat mengenai lirik dalam dolanan anak "Lir ilir" yang aku kutip dari sebuah blog. (terima kasih buat dnuxminds@wordpress.com atas deskripsi sederhana yang sangat informatif dan bermanfaat ini)

  • Makna tembang 'Lir ilir'

Ilir-ilir, Ilir-ilir, tandure (hu)wus sumilir
Terjemahan: Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi

Penjelasan: Para Walisongo mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam dari para wali.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
Terjemahan: Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru

Penjelasan: Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.

Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi
Terjemahan: Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu

Penjelasan: Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun Islam dan sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan oleh para Wali untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan ajaran Islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu.

Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira
Terjemahan: Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodotmu

Penjelasan: Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara/saat-saat penting. Dan buah belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan sebagai pencuci kain, dan terutama untuk merawat kain batik supaya tetap awet.

Dengan kalimat ini, para Wali memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang Jawa, agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.

Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing pingggir
Terjemahan: Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek

Penjelasan: Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan robek.


Dondomana, jlumatana, kanggo sebo mengko sore
Terjemahan: Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gusti-mu) nanti sore

Penjelasan: Sebo artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh karena itu disebut ‘paseban’ yaitu tempat menghadap raja. Disini para Wali memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk bekal menghadap Allah swt. di hari akhir nanti.

Mumpung gedhe rembulane, mumpun jembar kalangane
Terjemahan: Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang

Penjelasan: Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan, perbaikilah kehidupan beragamamu.

Ya surak'o, surak hiyo
Terjemahan: Mari bersorak, berteriak... Ayo

Penjelasan: Disaatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa, maka, sudah sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan beragama-nya dengan baik untuk menjawabnya dengan gembira.

Demikianlah petuah dari para Walisongo lima abad yang lalu, yang sampai saat ini pun masih tetap terasa relevansinya. Semoga petuah dari para Waliyullah ini membuat kita semakin bersemangat dalam menjalankan ibadah kita di bulan yang penuh rahmat ini. Amin, amin, amin.
(credit to: dnuxminds@wordpress.com)

No comments:

Post a Comment