Configuration

"between the good and the bad is where

you'll find me reaching for heaven"















FrenshiPath

Daisypath - Personal pictureDaisypath Friendship tickers

Saturday, April 30, 2011

Charity for Gaza: A Struggle for Dignity

Hari Selasa lalu aku menghadiri seminar yang sekaligus penggalangan dana untuk Palestina berjudul "Charity for Gaza: A Struggle for Dignity". Acara itu mendatangkan beberapa orang relawan Indonesia yang ikut dalam aksi kemanusiaan Freedom Flotilla dengan kapal Mavi Marmara untuk Palestina pada tanggal 31 Mei 2010, ke Banda Aceh, yaitu ustadz Dzikrullah Wisnu Pramudya, dari Sahabal al-Aqsha, dan istrinya, ustadzah Santi Soekanto. Turut hadir juga Heri Riswandi, ketua BSMI Aceh.

Awalnya aku tidak berniat datang karena jadwalnya dari jam 2 siang, sedangkan aku juga hari itu punya kegiatan lain di kampus. Tapi kemudian, aku berubah pikiran berhubung ada info tambahan kalau acara itu akan  berlanjut hingga jam 6 sore, serta info (yang tidak jelas kebenarannya) bahwa sertifikat seminar penulisan juga bisa diambil di tempat itu.

Aku tiba di tempat seminar ini ketika jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ehem. Begitu sampai, kukira acara sudah selesai, karena dari luar tidak ada tanda-tanda keramaian, tapi demi melihat jejeran motor di parkiran gedung PEMA Unsyiah, aku berasumsi setidaknya acara memang masih ada.

Karena sudah terlambat dan ternyata ust. Dzikrullah juga tengah berbagi pengalamannya yang menegangkan saat diserang militer Israel, aku jadi malu sendiri (mana  orang-orang yang kukenal tidak kelihatan batang hidungnya pula) dan langsung ingin buru-buru masuk ruangan itu saja, dan karena aku juga orangnya pemalu (ehm), aku sempat kagok di pintu masuknya, sampai-sampai ada seorang cewek memanggil-manggil pun aku hampir tidak sadar. Rupanya dia mau menyuruh aku untuk menutup pintu ruangan seminar itu.

Si cewek: (pake isyarat tangan menunjuk pintu) "Itu ditutup saja" (bisiknya dari jauh)
Aku: (lagi grogi aseli, bicara pake bisik-bisik juga) "Eh, yang mana?" (sambil lirik sana-sini)
 "Pintu, maksudnya?" (sambil nunjuk-nunjuk pintu)
Si cewek: (angguk-angguk) "Ya, ditutup saja"
Aku: (masih belum pasti, nunjukkin ke pintu lagi) "Pintu, kan? Ditutup, kan?" (ini enggak pasti atau emang sotoy? eleuh-eleuh, aku udah tengsin banget, udah pengen duduk terus, malu banget gitu masih berdiri-diri di depan pintu masuk... TT.TT)
Si cewek: (masih sabar, angguk-angguk kepala) "Ya... pintunya, ditutup saja" (luar biasa kan ya, dia teteup sabar gitu ngadepin kesotoyan aku saat itu... hehe)
Aku: (langsung bergerak tutup pintu, cuman secara di depan si pintu ada beberapa sandal dan sepatu, mau enggak mau kupinggirin dah satu-satu, kan enggak lucu aja kalo sandal-sandal itu kutendang biar cepet selese kerjaan aku di muka pintu itu... jaim lah ceritanya... hehe)

Setelah membereskan urusan sandal dan pintu tadi, aku langsung duduk di area kosong dekat pintu, tapi terus aku pindah lokasi, soalnya aku baru sadar kalau aku duduknya memang pas sekali di samping pintu. Ahee. Males, kan, kalau nanti ada yang masuk lagi, aku malah harus memberi jalan (udah jelas lah!), maka aku memilih mundur beberapa shaf, dan duduk rapi di barisan belakang yang masih ada spasi. Barulah aku mendengar apa yang dikatakan ust. Dzikru secara penuh.

Sambil bercerita tentang kejadian di kapal Mavi Marmara, ust. Dzikru juga memperlihatkan rekaman video para relawan yang sudah bersiap-siap dengan pelampungnya menanti kedatangan Israel ke kapal mereka, saat-saat sebelum Israel tiba serta saat-saat penyerangan biadab oleh mereka terhadap para relawan, yang tidak ikut disita Israel berdurasi 16 menitan. Katanya, rekaman ini  (saat itu dipegang oleh ustzh. Santi) berhasil lolos karena saat diperiksa, tentara tersebut sempat teralihkan fokusnya ke relawan yang lainnya. Ah, Alhamdulillah sekali...

Rekaman ini durasi aslinya adalah 1 jam-an dan dipotong untuk menghemat waktu, dan juga telah tersebar ke banyak media, begitu jelas ust. Dzikru.

Beberapa kali rekaman ditayangkan, aku tidak sanggup melihatnya. Sehingga ketika ustadz mengatakan bagian video yang memperlihatkan korban-korban, aku harus menundukkan kepala. Belum-belum tayangan selesai, aku harus menahan air mata. Tidak ingin terlihat menangis di khalayak ramai, itu sudah jadi kebiasaanku. Begitu mataku sudah terasa basah, aku cepat-cepat menunduk. Ini juga salah satu alasan aku awalnya tidak mau hadir. Rekaman itu bisa seumur hidup menghantui pikiranku. Benar-benar tidak kuat.

Ketika akhirnya tayangan selesai, ustadz sempat bertanya, "Siapa yang hatinya panas melihat ini?", yang lalu ditanggapi oleh acungan tangan para peserta.

Kecuali aku.

Hatiku tidak panas, ustadz. Hatiku sesak.

Cuplikan kejadian di kapal itu saja tidak sanggup kulihat. Konon lagi, penderitaan rakyat Palestina.

Seandainya aku di posisi mereka, apakah aku mampu bertahan?

Membayangkannya saja, sudah menyesakkan dada.

Wallahu a'lam...

No comments:

Post a Comment