Mungkin tidak banyak yang tahu, yang bahkan teman-temanku pun tidak... yah, wajar aja, wong aku posisinya terbelakang di hari itu. Jadi, memang wajar, tidak banyak yang tahu. Ditambah lagi, aku juga hampir tidak tahu. Haha. Hanya ustad Dzikrullah saja yang tahu, dan sadar kalau itu aku. Tanya kenapa???
Begini kronologisnya...
Di hari Minggu per tanggal 24 April yang lalu, aku berkesempatan mengikuti sebuah seminar kepenulisan (sedappp) bersama Salim A. Fillah dan bang Rahmatul Fitriadi, yang dua-duanya adalah penulis produktif versi dirinya masing-masing. Hehe. Maksudnya, Salim itu seringnya menulis buku yang bergenre non fiksi, nah, kalau bang Rahmat itu menulis buku bergenre fiksi. Begitu, lho...
Seminarnya dijadwalkan harusnya berlangsung mulai dari jam 8.30 untuk registrasi ulang peserta, maka aku pun bela-belain diri bangun pagi dan pakai baju rapi jali sebelum jam sekian. Tapi, sungguh tak disangka, aku sampai ke gedung AAC Dayan Dawood (TKPnya-red) sudah lewat jam 8.30. Lewat dikit gitu, deh.
Memang aku punya jam karet, aku tidak berencana denial. Itu memang benar adanya. Namun demikian, aku tak lantas patah arang merintang jalan, aku tetap pede dan langsung menuju ruang Flamboyan ke bagian registrasi peserta (bareng temen aku juga, Nova, yang sudah sedari sebelum aku tiba sudah duduk manis di depan gedung AAC) dan mencatatkan nama. Aku pun masih dengan adegan slow-motion memasuki ruang seminar, dan mencari tempat duduk yang asyik bareng si Nova.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa aku tetap santai walau sudah jelas-jelas terlambat begitu. Apakah aku tidak malu? Mungkin ada juga yang berpikir demikian. Biar kujelaskan. Aku tidak berencana terlambat. Tidak, tidak. Aku memang sengaja terlambat. Hehehe. Aku ingin menghindari pembukaan acara, apapun bentuknya. Yah, aku memang bukan tipe pendengar pembukaan yang baik dan benar. Jadilah, aku memilih santai dan bergerak lambat. *ngeles, padahal emang udah siput dari sononye... hedeh
Tetapi, memang malang tak dapat ditolak, untung pun aku tidak datang sesuai jadwal. Ternyata acaranya molor, sodara-sodara. Tahu tidak? Dikarenakan acara seminar ini akan dibuka oleh bapak wakil gubernur Aceh, maka meskipun aku tidak suka, kamu tidak suka, mereka juga tidak suka, acara terpaksa dimundurkan jadwalnya hingga bapak wagub tiba di TKP untuk olah perkara... eh, memberi kata sambutan.
Sambilan menunggu si bapak wagub berhadir, SKALA pun dikerahkan untuk membunuh waktu dengan membawakan beberapa nasyid, seraya berbalas pantun di antara sesama mereka.
Kata si Daniel, lagu Maher Zain 'Allahi Allah Kiya Karo' itu ada versi Acehnya... 'bek karu-karu...' *Gubraks. Begitulah pikirnya yang ajaib itu. Memang luar biasa sisi kreatipnya itu. Hehe.
Jam 10 lebih dan kurang beliau minta maaf, bapak wagub pun tiba. Acara pun akhirnya resmi dibuka. Tepat jam 10.30. Setelah runtutan pembacaan doa, kata sambutan panitia, kata sambutan wagub, dan tepuk tangan peserta.
Aku ikut acara ini sebenarnya bukan karena aku suka buku-buku Salim A. Fillah atau karena bang Rahmat sudah menyebarkan info ini ke aku juga. Aku murni ikut karena tertarik menghadiri seminar yang berhubungan dengan penulisan, dan kebetulan sekali aku ingin tahu seperti apa Salim A. Fillah itu, karena setahuku dia banyak menulis buku dan best-seller pula. Sejujurnya malah aku belum pernah membaca satu pun karya Salim secara penuh. Yang ada juga aku cuma meng-scanning isi bukunya, tapi tidak benar-benar tahu apa yang dituliskannya. Karena yang aku sempat baca sekilas itu adalah bukunya tentang pernikahan, dan aku di masa itu bukan tipe yang suka membaca buku semacam itu. Belum perlulah, pikirku waktu itu. *tsaaah, padahal yang laen juga enggak... ngeles to be continued...
Walau begitupun, demi mendengar dia membawakan acara setengah harian itu, aku sedikitnya bisa menyimpulkan kalau dia memang pada dasarnya banyak membaca buku, sesuai pengakuannya sendiri. Yah, itu terbukti dari lancarnya dia mengaitkan satu topik dengan topik yang lain, plus dia juga piawai memainkan intonasi bicaranya. Sebuah kombinasi yang baik antara kemahiran berkata melalui tulisan dan lisan.
Acara dilanjutkan setelah break untuk shalat dan makan siang di rumah masing-masing. Aku pun segera pergi untuk kembali ke gedung AAC di jam 2 kemudian.
Sesi ba'da zuhur ini meliputi bincang-bincang bersama bang Rahmat (males kubahas apa yang dia bilang disini, abis kenal sih, hehe... ngeles comes back to life) dan sesi tanya jawab dengan bang Rahmat dan Salim A. Fillah.
Setelah sesi ini selesai, ternyata ada sesi tambahan, yaitu bagi-bagi hadiah pintu (gitu kata MC nya kok...) alias door prize. Aku juga turut gembira mengetahui hal ini. *ahay hay... dapet pintu... loh?
Hadiahnya adalah buku Salim A. Fillah berjudul 'Dalam Dekapan Ukhuwah', dan pertanyaan quis akan diberikan oleh Salim dan bang Rahmat. Rencana awalnya, gitu. Tapi, lalu berubah. Mereka ingin menganugerahkan tanya-jawab door prize ini untuk ust. Dzikrullah dan ustzh. Santi, yang merupakan relawan kemanusiaan untuk Palestina di kapal Mavi Marmara yang diserang Israel akhir Mei 2010 yang lalu itu.
Aku sempat kaget campur heran begitu mengetahui fakta itu. Kaget karena aku tidak menyangka bakal bertemu mereka secara live di Banda Aceh ini, dan heran kenapa mereka bisa hadir di acara seminar penulisan itu. Dari sepagian tadi, kan mereka tidak kelihatan di mana-mana. Jawaban atas kekagetan dan keherananku ini akhirnya terjawab dua hari kemudian.
Oke, back to the door prize. Begitu tahu kalau hadiahnya adalah buku itu, aku lantas menjadi lesu. Sedih hatiku mendengarnya. Hueheu. Bukan apa-apa, fren, aku sudah dapat buku itu karena aku membayar tiket seminar seharga 75 ribu, dimana itu sudah include sertifikat dan buku tadi. Kan, sangat tidak lucu kalau aku punya dua buku yang judulnya sama. Walhasil, aku cuma ikutan menjawab soal quisnya dari dalam hati.
Di saat yang sama, si Uswah, adek leting aku yang duduk di sebelahku, ingin bisa menjawab quisnya karena dia belum punya buku tadi. Ujung-ujungnya, kita berdua khusyuk mendengar soal dari ust. Dzikru dan ustzh. Santi.
Soal pertama. Dari ust. Dzikru.
Ust. Dzikru: "Ulama ini telah bisa menghafal Qur'an dari umur 6 tahun..."
Belum habis soal diceritakan, peserta sudah kasak-kusuk mau menjawab. Dan, bagai sudah bisa menebak isi pikiran mereka, ustadz langsung memotong, "Ya, saya tahu, kalian mau bilang Imam Syafi'i, kan? Bukan itu yang ingin saya tanyakan," lalu menyambung cerita, "pertanyaannya, dimanakah Imam Syafi'i dilahirkan?"
Mampus deh gue. Yang aku ingat Makkah, karena garis keturunan beliau terhubung dengan Rasul saw. Dan, yang jelas dia tidak dilahirkan di sana. Aku pun hanya bisik-bisik tetangga dengan si Uswah tentang jawaban tersebut. Sampai akhirnya ada yang menjawab, "Di Gaza". Dan, ustadz tiba-tiba meneriakkan takbir. Ternyata, dia benar, sodara-sodara.
Soal kedua. Dari ustzh. Santi.
Ustzh. Santi: "Beliau adalah ahli sastra wanita yang terkenal di masa Rasul saw..." Nah, begitu aku mendengar cerita ini, sebenarnya aku sudah membisikkan nama "Khansa" ke Uswah, dimana aku berharap dia mau langsung tunjuk tangan. Cuma, gara-gara kasus soal pertama tadi, aku jadi urung, yah, kuatir saja kalau-kalau pertanyaan sebetulnya malah bukan tentang nama sang penyair wanita tersebut. Kemudian, setelah ceritanya disambung, "dia juga memiliki empat orang anak yang kesemuanya syahid di medan perang." Whuush. Hampir semua langsung menunjuk tangan, termasuk Uswah. Tapi, apa boleh buat. Karena kami terbelakang duduknya, kami pun hanya bisa ber-say goodbye dengan si buku.
Soal ketiga. Dari ust. Dzikru lagi. Plusnya adalah ada tambahan hadiah sebuah pin Sahabat al-Aqsha dari ustadz bagi yang bisa menjawab soal bersangkutan. Sangat menggiurkan.
Ust. Dzikru: "Ulama ini dilahirkan di daerah Palestina yang sekarang dikuasai Israel, dan berbatasan dengan Mesir..." Semua serius mendengarkan. Kayaknya bakal susah, nih. "Ulama ini mengarang sebuah kitab yang berhasil diselesaikan dalam waktu 29 tahun." Masih tidak ada yang mau sok-sok-an tunjuk tangannya. Kayaknya beneran susah, nih. "Siapakah nama ulama tersebut? Nama tempat kelahirannya juga merupakan namanya. Siapakah dia?"
Beberapa orang mengangkat tangan. Ada yang menjawab "Imam Syafi'i", "Imam Nawawi" dan entah imam-imam mana lagi yang telah disebutkan, tapi tidak dibenarkan oleh ust. Dzikru, sampai-sampai MC nya nyeletuk, "Ini semua imam udah kesebut, ya..."
Aku lantas mengarang-ngarang nama. Apa ada Imam Ramallah? Hehe. Maksa amat, ye...
Sedang aku berpikir keras-keras, ust. Dzikru lalu memberi bantuan clue... yah, mungkin dia sadar kalau pesertanya pada jarang baca biografi ulama-ulama. Ahee...
"Kalau saya kasih petunjuk, mau?" Yang langsung di jawab dengan koor peserta, "Mauuu..."
"Tapi, bukunya cuma dapat setengahnya..." Ah, ustadz, tega amat. Hehe.
Sang ustadz pun berbaik hati pada para peserta yang sudah hampir berputus asa tersebut. "Nama tempat kelahirannya ini, dalam bahasa Ibrani adalah Askelon..." Begitu nama itu disebutkan, sontak aku teringat ke seorang ulama, yang kitabnya aku miliki meski hanya versi ringkasan dari kitabnya yang sesungguhnya.
Aku pun dengan pede lumayan tinggi langsung mengangkat tangan, mengarah ke loteng ruang Flamboyan. Peserta yang lain pun turut serta mencoba peruntungan ini.
Ust. Dzikru lalu mempersilakan seorang peserta di depanku untuk menjawab. "Imam Ghazali" begitu katanya. Aku sempat berharap agar jawabannya salah (hehe), walaupun aku masih tidak yakin kalau nama ulama dalam pikiranku itu adalah yang benar. Tapi, aku juga tidak bisa memikirkan nama lain, karena nama Askelon itu terasa sangat familiar. *tsaaah
Pun akhirnya jawaban dia masih tidak benar. Yang lucunya, begitu ustadz mengatakan jawabannya salah, rata-rata peserta menurunkan tangannya. Mungkin mereka menunggu ustadz memberi clue yang lain, atau mereka punya jawaban sama dengan si penjawab tersebut.
But. Not me. Hehe.
Aku masih dengan pedenya membiarkan tanganku mengambang di udara, dan ustadz itu pun menyadarinya. Lalu katanya, "Ya, itu yang pakai jilbab coklat." Nah, di bagian ini agak sedikit memalukan. Tapi tidak begitu disadari orang di sekitarku saat itu. Pas ust. Dzikru mempersilakan si "yang pakai jilbab coklat", aku sebenar-benarnya waktu itu sedang tidak ngeh.
Hari itu aku pakai baju putih, dan jilbab coklat. Cuma, karena pada saat itu tanganku sedang terangkat ke atas, yang terlihat olehku yang dhaif ini adalah warna putih bajuku itu (ya iya lah!), maka begitu ustadz bilang 'jilbab coklat', aku pun bingung siapa yang dipanggil 'jilbab coklat'. Karena itulah, aku langsung lirik kanan-kiri untuk mengecek apakah ada orang lain yang mengangkat tangan juga, dan ternyata memang cuma aku, tok. Sadarlah aku segera, yang sang ustadz maksudkan adalah tak lain tak bukan, aku sendiri,... yang juga turut kusadari bahwa warna jilbab aku itu adalah... coklat. Bener-bener dah ingatan!
Dengan sisa-sisa rasa pede, aku menjeritkan nama ulama tersebut.
Aku yang pede: "Ibnu Hajar al-Asqalani"
Ust. Dzikru: (kayaknya enggak dengar jelas suara aku, deh) "Siapa?"
Aku yang pede: (ulang lagi, volume dinaikkan sejerit-jeritnya) "Ibnu Hajar al-Asqalani!!!"
Ust. Dzikru: "Takbiiir..." (yang segera disambut gemuruh suara peserta meneriakkan 'Allahu Akbar')
Karena tiba-tiba begitu teriakan takbirnya, aku kaget setengah mati, itu tandanya benar atau salah, ya?
Ah, benar ternyata, soalnya ustadz jadi menjelaskan tentang Ibnu Hajar al-Asqalani dan kitab Bulughul Maram nya yang dikarang lebih dari 20 tahun itu (selain dari kitab Fathul Bari nya yang juga terkenal itu). Heuheu... aduh, aku jadi senang sekaligus terharu begitu menerima hadiah pin dan buku itu.
Tidak dinyana, bahwa pengetahuan aku yang sudah usang itu dapat membawa berkah hadiah pin yang berhubungan dengan Palestina. Dan, lebih tidak disangka, ternyata Imam Syafi'i dan Ibnu Hajar al-Asqalani adalah kelahiran Palestina.
*ugh, gini nih kalau bacaan dulu dilupakan... ingatan makin lama makin gak setia aja nih... TT.TT
Setelah door prize berlalu, secara resmi acara pun berakhir.
Bang Rahmat: "Ini, Salim, ada yang minta tanda tangannya di pinggir sini saja."
Salim: "Eh, di sini? Wah, menyulitkan ini." (sambil tanda tangan)
(jiah, si bang Rahmat, dia pake bicara jujur lagi. hedeh, deh)
Begitulah, tanda tangan itu pun didapat dengan mudah dan tidak payah. *Tengkiu, bang!
Aku pun pulang dengan hati lapang.
.:Selesai:.
Dan, seperti yang sudah kuinformasikan di awal, seminar ini menghadirkan penulis Salim A. Fillah yang bukunya tersedia di acara tersebut. Maka, sudah pasti, kita pada ingin tanda tangan sang penulis di buku karangannya sendiri. Karena tadi aku juga dapat buku pas door prize, aku kasih saja ke Uswah itu buku. Dan, kami pun ikutan memburu tanda tangan.
Aku maunya tanda tangan penulis di pinggir buku, bukan di halaman depan kayak biasanya. Nah, karena aku tidak berani kena pelototan dia (hehe), aku minta help sama bang Rahmat. Minta tulung, supaya Salim mau tanda tangan di pinggiran buku.
Bang Rahmat: "Ini, Salim, ada yang minta tanda tangannya di pinggir sini saja."
Salim: "Eh, di sini? Wah, menyulitkan ini." (sambil tanda tangan)
(si aku tidak berani muncul, hanya berdiri di balik pintu, sambil sesekali intip ke dalam ruang... takut ditandain sih, jago kandang soalnya. hehe)
Bang Rahmat: "Oh, memang. Dia itu memang menyulitkan orangnya. Hehe."(jiah, si bang Rahmat, dia pake bicara jujur lagi. hedeh, deh)
Begitulah, tanda tangan itu pun didapat dengan mudah dan tidak payah. *Tengkiu, bang!
Aku pun pulang dengan hati lapang.
.:Selesai:.
hohoho... gue dapet pin gratis tis tis... *pura-puranya begema... |
kalo gini, jadi gak keliatan kalo ini tanda tangan penulis bukunya... hedeh, salah sendiri tuh... |
buku ini hasil seminar |
inilah hadiah bisa jawab soal door prize, asik, asik... |
No comments:
Post a Comment