Itu adalah sebuah pertemuan yang tak disangka. Tanpa terencana, terjadi begitu saja.
Malam itu, di Senin lalu, seperti malam-malam yang sering kami lalui bersama untuk membunuh rasa suntuk dan bosan yang menyerang, aku dan seorang karib, Silvi, memutuskan (secara mendadak via handphone) untuk duduk-duduk santai di sebuah jajanan burger di kaki lima di sekitar kawasan Telkom Banda Aceh.
Di sepanjang perjalananku ke tempat burger itu, aku sempat berpikir, tentang bagaimana membuat rutinitas sehari-hariku beberapa tahun belakangan ini mampu kujalani dengan hati lapang dan bahagia. Karena, aku yang sekarang butuh sesuatu yang baru dan berbeda. Ritual yang kuakrabi akhir-akhir ini telah menjadi begitu sangat menjemukan. Dan bahkan, saking putus asanya, sempat terlintas dalam pikirku untuk bergabung saja dengan armada Freedom Flotilla di bulan Mei nanti (yang entah bagaimana cara bergabungnya...). Siapa tahu, perjalanan ke Palestina bisa merubah arah bahtera kehidupan milikku saat ini.
Setibaku di tempat janjian tadi, si Silvi sudah sampai duluan, dan setelah mendudukkan diri dengan nyaman di bangku-bangku kaki lima yang sudah tersedia, kami pun memesan dua burger pakai telur, dan dua teh botol. Dikarenakan kami berencana untuk berselancar di internet, Sil pun membawa serta netbook-nya, membukanya... untuk kemudian ditutup kembali gara-gara akses internet gratis tidak tersedia di situ (padahal, kemarin-kemarinnya masih ada, lho...).
Karena sudah terlanjur datang dan memesan makanan, kami akhirnya hanya bercakap-cakap (baca: plus bergosip) tentang macam-macam hal. Contoh: peristiwa aplikasi sekolah ke luar negeri yang masih terkendala, serta donasi yang masih kupegang yang belum tahu mau disumbangkan ke siapa.
Di tengah keasyikan kami bercakap-cakap, tiba-tiba datang seorang ibu muda dengan pakaian yang lusuh dan anaknya yang (mungkin) berusia sekitar 5 tahunan, meminta sedekah. Anggapan kami saat itu adalah bahwa ibu itu masih terlihat sehat dan kuat sehingga kami (sambil mengisyaratkan tanda maaf) memilih untuk tidak memberi sedekah ke sang ibu muda nan lusuh tadi. Kemudian, sang ibu itu pun melengos pergi. Bahasa tubuhnya memberi tahu bahwa dia sudah biasa diperlakukan seperti itu dan menganggapnya bagai angin lalu. Aku hanya bisa tersenyum kecut dalam hati. Serba salah.
Tak lama berselang, ketika kami memutuskan akan beranjak pulang (setelah bertanya ke penjual burgernya apakah line free hotspot tersedia di dekat kawasan itu, yang lalu dijawab tidak ada), datang lagi dua orang anak kecil usia sekolah dasar dengan motif yang sama seperti ibu muda tadi, meminta sedekah, dengan modus meletakkan sehelai amplop bertuliskan kata-kata "Mohon bantuan kepada anak yatim dan fakhir miskin" (kami berdua sempat bergurau membahas kata 'fakhir' yang salah ejaan itu) dan berlalu pergi untuk meletakkan amplop-amplop lainnya di meja-meja pengunjung yang lain.
Awalnya kami berdua tidak ingin memberi sedekah juga ke anak-anak tersebut, karena kami berprasangka bahwa bisa jadi mereka berdua tergabung dalam perkumpulan peminta-minta yang diorganisir. (kami berpikir terlalu jauh...)
Maka, daripada pikiran kami berubah menjadi sangat su'uzon, kami membuat sebuah rencana. Kami akan berbincang-bincang dengan mereka, dengan kata lain, mengadakan sebuah wawancara yang tak terstruktur. Kami tidak punya list pertanyaan baku layaknya sebuah wawancara normal sehingga apa yang ada dan ingin diketahui, ya, itulah yang kami tanyakan. Sebuah dampak dari pikiran dua anak manusia yang penasaran.
Wawancara ini adalah dalam rangka kebaikan. Jika anak-anak kecil tadi menjawab dengan baik dan benar serta penuh kejujuran, mereka akan kami beri hadiah berupa sejumlah uang, yang kami yakini akan sangat berguna bagi keduanya.
Jadilah, kami berdua meng-interviu bocah-bocah itu.
Jadilah, kami berdua meng-interviu bocah-bocah itu.
Kedua anak kecil tersebut sedang berjalan ke meja kami, ketika kami telah bersiap untuk 'memberanikan diri' menanyakan beberapa hal mengenai diri mereka.
Silvi (sebagai juru bicara utama) mempersilakan mereka duduk sambil berbasa-basi singkat. Setelah mereka terlihat rileks, Sil menawarkan apakah mereka mau makan burger yang lalu dijawab dengan 'dibungkus saja'. Okelah. Pesanan dua burger tengah disiapkan.
Pertanyaan pertama sangat standar (dan paling ingin kami ketahui), tentang mengapa mereka malam-malam begitu mau meminta-minta sedekah. Mereka lalu mengatakan bahwa sedekah itu adalah untuk uang jajan mereka sehari-hari. Kemudian, kami mulai bertanya agak 'dalam' mengenai latar belakang mereka, keluarga, pendidikan, dan agama. Maka, akhirnya meluncurlah cerita keduanya (yang sempat membuat kami pusing karena harus menyambung ide antara kebenaran dengan selipan kebohongan-kebohongan kecil yang mereka katakan, yang mungkin ingin beberapa fakta tertentu disembunyikan) bahwa mereka tinggal di kawasan Kampung Jawa, dengan orang tua yang bekerja sebagai pemulung botol bekas, dan mereka aslinya bukan dari Banda Aceh, sudah beberapa kali pindah tempat tinggal, kedua orang tua mereka (kebetulan sekali) masing-masing telah menikah lagi jadi mereka berdua punya ayah tiri dan atau ibu tiri. Salah satu kakak tiri sang anak sudah menikah, bersuamikan seorang pemulung juga. Sungguh miris. Seolah kehidupan keluarga mereka bagai lingkaran setan. Berputar di situ-situ saja. Tidak ada perubahan.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kami masih berkutat dengan masalah dua anak tadi. Percakapan memperlihatkan progres yang signifikan, namun akibat mereka masih berbeli-belit (walau ada yang benar) kami tidak bisa menghentikan wawancara tak terstruktur tersebut. Kami masih ingin tahu lebih banyak lagi.
Beberapa kali kami menyinggung masalah agama dan sekolah. Ternyata mereka sekarang tidak mengikuti pengajian manapun... amat sayang..., lalu salah satu anak (usia 10 tahun) masih sekolah, sedangkan satu anak lagi (usia 12 tahun) sedang mengurus kepindahan dari sekolah lama gara-gara dia terlalu sering bolos yang mengakibatkan namanya dicoret dari daftar siswa.
Kala lain, kami bertanya tentang aktifitas tak lazim mereka di malam hari itu. Mereka mengaku biasa melakukannya hingga bahkan tengah malam. Sangat berbahaya, menurut kami. Kami menegaskan bahwa tidak sebaiknya mereka berkeliaran di malam hari begitu, karena banyak kemungkinan terjadinya peristiwa yang tak menyenangkan bagi mereka, seperti perkosaan. (dua anak itu tidak mengerti sama sekali tentang 'perkosaan'... mungkin, bahasa kami terlalu tinggi? atau, mereka terlalu lugu?... ah, tak tahulah)
Malam sudah semakin larut, lalu karena terbawa suasana, Sil menyarankan agar di hari Minggu mereka bisa main-main ke sekitar rumah kos-an Sil, karena dia punya banyak titipan baju dan buku bekas. Mereka setuju. Tapi, muncul kendala, bagaimana caranya ke rumah Sil sedangkan mereka tidak punya alamat jelas.
Aku penasaran dengan tempat tinggalnya, dan Sil juga berpikir bahwa ide yang bagus kalau kami berdua mengantar dua anak kecil tadi pulang ke rumahnya. (sekalian membuktikan bahwa celotehan mereka sedari itu benar adanya)
Giliran tawaran mengantar pulang diajukan, mereka tampak tak bersemangat. Mereka saling berpandangan.
Satu anak berkata bahwa nanti dia akan dijemput pulang oleh abangnya dan harus menunggu di sekitar supermarket Pante Pirak, lalu anak yang lain tidak ingin diantar sampai ke rumah, cukup hanya di depan lorong daerah rumahnya saja. Sempat terjadi diskusi alot karena mereka berdua tidak bisa diajak secara damai.
Akhirnya, satu anak setuju untuk diantar pulang, walau hanya sampai depan lorong tempat tinggalnya, sedang anak yang lain ngambek dan berjalan pergi meninggalkan kami. Aku dan Sil jadi bengong, dan tidak tahu harus bagaimana menyikapi kepergiannya. Si teman mengatakan ke kami, kalau si anak yang pergi itu kuatir bila kami --dua wanita muda yang iseng kelayapan di malam hari juga-- ternyata adalah ibu walikota... Haha. Kami tertawa tak percaya. Pasti anak itu tidak pernah melihat billboard pasangan walikota & wakil walikota segede atap yang dipasang di pinggiran jalan, sampai mengira kami berdua begitu rupa. Nak, ibu-ibu walikota enggak bakalan lah makan-makan di etalase jalan gitu, hehe...
Masalah belum selesai, aku bilang ke Sil, kita segera mengantar anak-anak tersebut, sambil bersiasat membawa motor kami pelan-pelan menuju si anak yang emoh diantar itu. Berharap si anak itu luluh dan bersedia diajak pulang bersama.
Mungkin, karena memang dasarnya anak-anak, proses ngambek berlangsung cuma sebentar saja, dia akhirnya mau pulang bersama kami... ehm, (calon) ibu-ibu walikota...
Menembus kegelapan malam, lewat pukul 10 malam, kami beriringan menggiring motor dengan kecepatan sedang ke arah Peunayong, lalu melanjutkan ke kawasan anak-anak tersebut di Kampung Jawa.
Biasanya, Sil membawa motor dengan kecepatan tak lebih dari 40 km/jam sehingga aku juga bergerak menyesuaikan diri dengan motornya. Namun, hingga sesampainya aku di daerah Pelanggahan, motor Sil tidak kelihatan juga, jadi kuputuskan berhenti menunggu dia tiba. Dari jauh, aku cuma memperkirakan kalau motor yang ada beberapa meter di belakangku itu adalah motor Sil. Aku tetap di tempat sambil berbicara dengan satu anak yang tadinya menolak pulang bersama kami, ketika tiba-tiba, dari kegelapan aku seperti melihat seorang anak jatuh dari motor. Aku kaget setengah mati. Karena kuatir kalau anak itu malah anak yang dibonceng Sil, dan mereka terlibat kecelakaan, aku pun berbalik arah. Dengan jantung berdebar kencang, aku berdoa supaya itu bukan kecelakaan fatal. Mengerikan dan mengejutkan. Aku langsung terbayang yang tidak-tidak.
Setiba di dekat motor Sil, ternyata yang kudapati malah lebih parah dari sekedar kecelakaan. Anak tadi ternyata jatuh karena dipaksa turun oleh abangnya (saudara tiri, lebih tepatnya), dan saking takutnya, si anak tadi menangis sesenggukan sambil memeluk erat Sil. Aku terkejut luar biasa, dan bahkan kukira akan terjadi KDRT di jalan raya. Seorang pengemudi motor juga sempat melihat kejadian turun-paksa tadi dan menanyakan apa yang terjadi ke kami yang tengah dalam kondisi kalut itu. Sang abang (masih dalam keadaan emosi) menjelaskan kalau dia adalah abang dari anak kecil itu, dan memang sengaja mencari si anak karena sudah sering kali dia mendengar berita dari orang-orang sekitar yang mengenali mereka kalau sang adik tersebut suka meminta-minta sedekah di malam hari. Ternyata, sang abang sudah berulangkali melarang adiknya meminta-minta di jalan. Tapi. Dasar si adik yang sudah membandel, dia tidak mau dengar, dan meneruskan kegiatan meminta sedekah serta tidak masuk sekolah.
Dalam kekacauan itu, Sil mencoba menerangkan ke sang abang yang emosionil tersebut bahwa kami berdua bermaksud baik, dan ingin mengantar pulang anak-anak yang kami temukan tadi. Mungkin karena melihat penampakan kami berdua yang cukup sopan dan muslimah sekali, dia menurunkan level emosinya dan percaya pada penjelasan Silvi.
Konflik di pinggir jalan itu pun terselesaikan secara tertib. Kami meneruskan perjalanan (dengan diiringi motor sang abang yang mengikuti dari belakang) yang tertunda menuju Kampung Jawa, tempat tinggal dua anak kecil tersebut.
Perjalanan malam hari itu sangat tidak singkat, teman. Daerah yang dimaksud anak-anak tadi belum pernah kami lewati sebelumnya. Tahu pun tidak, kalau daerah ini ada. Seingatku, kami sempat melalui stasiun radio Binkara FM. (itu pun kalau aku tidak salah baca)
Perjalanan malam hari itu sangat tidak singkat, teman. Daerah yang dimaksud anak-anak tadi belum pernah kami lewati sebelumnya. Tahu pun tidak, kalau daerah ini ada. Seingatku, kami sempat melalui stasiun radio Binkara FM. (itu pun kalau aku tidak salah baca)
Jalan menuju rumah mereka seperti tidak ada ujungnya, sangat gelap, dan sunyi. Jelasnya, kalau aku juga bermukim di sekitar itu, aku mungkin akan meminta diantar-jemput karena begitu sepinya suasana jalan. Sangat mencekam.
Yang lebih gawat lagi, si anak-anak itu terkadang nekad pulang berjalan kaki dari persimpangan jembatan Peunayong ke Kampung Jawa. Di malam hari pula. Bayangkan!
Setelah beberapa lama mengendarai motor tanpa arah pasti... karena kami tidak tahu yang mana rumah tinggal mereka... sampailah kami di sebuah lokasi pengumpulan barang-barang bekas.
Tempat tinggal si anak kecil dan abangnya tadi adalah yang duluan kami jumpai, meski (seperti janji di awal) kami hanya mengantar hingga batas lorong rumahnya. Jadi, kami tidak tahu juga persisnya si anak itu tinggal dimana. Tapi, kami kira itu tidak mengapa, karena yang terpenting kita sudah tahu lokasi tinggal anak tersebut. Itu saja sudah cukup bagus.
Selanjutnya, kami berdua mengantar anak lainnya, yang rumahnya terletak tidak begitu jauh dari anak yang pertama.
Si anak itu, jadinya ingin kami tidak langsung pulang segera. Dia ingin kami singgah dahulu di rumahnya. Dan, kami pun mengiyakan.
Begitu menjejak di lokasi pemukiman itu, kami agak bingung. Bukan karena kami tidak tahu apa-apa, melainkan lebih karena kami tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Lokasi rumahnya lebih bisa disebut sebagai penampungan barang-barang bekas. Tidak ada yang benar-benar pantas untuk disebut 'rumah' di situ. Hamparan botol-botol plastik bekas terbentang di tanah lapang di depan rumah si anak tadi. Berikut becak-becak pengangkut barang bekasnya. Serakan barang menghiasi sudut-sudut lokasi pemukiman mereka.
Kedatangan kami disambut oleh ayah tiri anak tadi (sempat kuatir juga kalau harus menyaksikan kasus turun-paksa atau semacamnya lagi) dan ibunya yang rupanya tengah di dalam rumah.
Bagaimana ya, harus kukatakan.
Rumah mereka... adalah tempat tinggal yang paling, paling, paling dibawah standar kehidupan yang wajar yang pernah aku saksikan dengan mata kepala sendiri. Dulu, semasa kecil aku juga pernah tinggal di kampungku yang masyarakatnya tidak punya rumah-rumah yang layak huni. Namun, baru kali ini aku melihat rumah dengan sudut pandang yang terjungkir balik. Kemiskinan itu sungguh tidak bercanda.
Saat melihat rumah itu, Sil bilang dia seperti melihat refleksi dari "Rumah Tanpa Jendela"... karena ternyata, rumah anak tadi tidak punya jendela.
Rumah itu menampung ayah, ibu, empat anak kecil, dan seorang pemuda. Tujuh orang totalnya.
Tanpa jendela, tanpa sanitasi memadai, tanpa asupan gizi anak usia balita, tanpa pekerjaan pantas, tanpa dukungan agama dan pendidikan yang baik. Itulah beberapa faktor pencetus lahirnya komunitas peminta-minta di kota ini. Di negara ini.
Itulah potret negeri kita tercinta ini.
Padahal, kita semua tahu, kemiskinan itu tidak bercanda.
Tapi, tidak banyak yang dapat kita perbuat.
Tentang mengapa si anak itu takut kepada kami dan mengira mungkin kami bagian dari walikota adalah karena ibu si anak itu pernah terkena razia dan dianggap menculik anak orang. Tidak jelas juga bagaimana runtutan kisahnya, tapi yang jelas, kehadiran kami sempat membuat dia kuatir keluarganya akan ditangkap.
Kami juga masuk ke dalam rumah mereka, karena kami tidak enak kalau ajakan untuk singgah kami tolak (padahal malam itu sudah pukul 11), sekedar untuk menghormati tuan rumah, sehingga bila suatu saat kami kembali ke sana, mereka akan senang menyambut kami lagi.
Keadaan dalam rumah tidak jauh berbeda dengan di luar. Penuh barang di pinggirnya. Kami duduk di sepertiga awal ruang dapur merangkap ruang tamu dan kamar tidur sang ayah dan ibu. Dua pertiga bagian lagi untuk kamar tidur anak-anak mereka. Ketiga bagian rumah itu hanya dibatasi sekat kain saja.
Tinggi ruang, berukuran (mungkin) luas 1x3 m3, pun tidak sampai setinggi badanku (sebagai referensi), padahal aku cuma 155 cm, dan atap rumahnya malah hampir tersundul kepalaku seandainya aku tidak menundukkan badan. (inilah kali pertama aku merasa badanku tinggi sekali...)
Kami berbincang tidak begitu lama, tapi cukup untuk mengorek informasi tentang kehidupan keras mereka di lingkungan tak layak tinggal itu.
Pukul 11.15 malam.
Kami minta izin pulang.
Sekembali dari sana, aku dan Sil mulai membuat agenda baru.
Kami masih syok dengan temuan kami malam itu. Kami masih tak percaya, terutama tentang kondisi fisik rumah tinggal mereka.
Serasa mimpi. Apalagi karena kejadian itu berlangsung di malam hari.
Sepertinya, proyek akhirat kami harus segera dilaksanakan. Hari Minggu nanti, rencananya, kami akan mengantar baju dan buku bekas yang masih ada di rumah kos-an Sil, dan mengenai donasi yang masih kupegang (padahal beberapa jam yang lalu aku baru membahas ini) mungkin akan kurancang untuk beberapa hal yang berhubungan dengan anak-anak di komunitas pemulung tersebut.
Kami tidak tahu apa yang dapat dilakukan untuk menaikkan taraf hidup mereka ke yang lebih baik, tapi semoga saja, usaha kecil kami tidak sia-sia, dan setidaknya bisa mencegah mereka merendahkan diri dengan meminta-minta, dan mengingatkan mereka bahwa agama itu tetap diperlukan meski kemiskinan begitu nyata melingkupi nadi kehidupan mereka. Sebuah kaum yang termaginalkan di sudut ibukota Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.
Pastilah engkau tahu, teman, kemiskinan mereka itu sungguh-sungguh tidak bercanda.
Semoga engkau pun mau bergabung bersama kami untuk kehidupan mereka yang lebih baik.
Yang lebih gawat lagi, si anak-anak itu terkadang nekad pulang berjalan kaki dari persimpangan jembatan Peunayong ke Kampung Jawa. Di malam hari pula. Bayangkan!
Setelah beberapa lama mengendarai motor tanpa arah pasti... karena kami tidak tahu yang mana rumah tinggal mereka... sampailah kami di sebuah lokasi pengumpulan barang-barang bekas.
Tempat tinggal si anak kecil dan abangnya tadi adalah yang duluan kami jumpai, meski (seperti janji di awal) kami hanya mengantar hingga batas lorong rumahnya. Jadi, kami tidak tahu juga persisnya si anak itu tinggal dimana. Tapi, kami kira itu tidak mengapa, karena yang terpenting kita sudah tahu lokasi tinggal anak tersebut. Itu saja sudah cukup bagus.
Selanjutnya, kami berdua mengantar anak lainnya, yang rumahnya terletak tidak begitu jauh dari anak yang pertama.
Si anak itu, jadinya ingin kami tidak langsung pulang segera. Dia ingin kami singgah dahulu di rumahnya. Dan, kami pun mengiyakan.
Begitu menjejak di lokasi pemukiman itu, kami agak bingung. Bukan karena kami tidak tahu apa-apa, melainkan lebih karena kami tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Lokasi rumahnya lebih bisa disebut sebagai penampungan barang-barang bekas. Tidak ada yang benar-benar pantas untuk disebut 'rumah' di situ. Hamparan botol-botol plastik bekas terbentang di tanah lapang di depan rumah si anak tadi. Berikut becak-becak pengangkut barang bekasnya. Serakan barang menghiasi sudut-sudut lokasi pemukiman mereka.
Kedatangan kami disambut oleh ayah tiri anak tadi (sempat kuatir juga kalau harus menyaksikan kasus turun-paksa atau semacamnya lagi) dan ibunya yang rupanya tengah di dalam rumah.
Bagaimana ya, harus kukatakan.
Rumah mereka... adalah tempat tinggal yang paling, paling, paling dibawah standar kehidupan yang wajar yang pernah aku saksikan dengan mata kepala sendiri. Dulu, semasa kecil aku juga pernah tinggal di kampungku yang masyarakatnya tidak punya rumah-rumah yang layak huni. Namun, baru kali ini aku melihat rumah dengan sudut pandang yang terjungkir balik. Kemiskinan itu sungguh tidak bercanda.
Saat melihat rumah itu, Sil bilang dia seperti melihat refleksi dari "Rumah Tanpa Jendela"... karena ternyata, rumah anak tadi tidak punya jendela.
Rumah itu menampung ayah, ibu, empat anak kecil, dan seorang pemuda. Tujuh orang totalnya.
Tanpa jendela, tanpa sanitasi memadai, tanpa asupan gizi anak usia balita, tanpa pekerjaan pantas, tanpa dukungan agama dan pendidikan yang baik. Itulah beberapa faktor pencetus lahirnya komunitas peminta-minta di kota ini. Di negara ini.
Itulah potret negeri kita tercinta ini.
Padahal, kita semua tahu, kemiskinan itu tidak bercanda.
Tapi, tidak banyak yang dapat kita perbuat.
Tentang mengapa si anak itu takut kepada kami dan mengira mungkin kami bagian dari walikota adalah karena ibu si anak itu pernah terkena razia dan dianggap menculik anak orang. Tidak jelas juga bagaimana runtutan kisahnya, tapi yang jelas, kehadiran kami sempat membuat dia kuatir keluarganya akan ditangkap.
Kami juga masuk ke dalam rumah mereka, karena kami tidak enak kalau ajakan untuk singgah kami tolak (padahal malam itu sudah pukul 11), sekedar untuk menghormati tuan rumah, sehingga bila suatu saat kami kembali ke sana, mereka akan senang menyambut kami lagi.
Keadaan dalam rumah tidak jauh berbeda dengan di luar. Penuh barang di pinggirnya. Kami duduk di sepertiga awal ruang dapur merangkap ruang tamu dan kamar tidur sang ayah dan ibu. Dua pertiga bagian lagi untuk kamar tidur anak-anak mereka. Ketiga bagian rumah itu hanya dibatasi sekat kain saja.
Tinggi ruang, berukuran (mungkin) luas 1x3 m3, pun tidak sampai setinggi badanku (sebagai referensi), padahal aku cuma 155 cm, dan atap rumahnya malah hampir tersundul kepalaku seandainya aku tidak menundukkan badan. (inilah kali pertama aku merasa badanku tinggi sekali...)
Kami berbincang tidak begitu lama, tapi cukup untuk mengorek informasi tentang kehidupan keras mereka di lingkungan tak layak tinggal itu.
Pukul 11.15 malam.
Kami minta izin pulang.
Sekembali dari sana, aku dan Sil mulai membuat agenda baru.
Kami masih syok dengan temuan kami malam itu. Kami masih tak percaya, terutama tentang kondisi fisik rumah tinggal mereka.
Serasa mimpi. Apalagi karena kejadian itu berlangsung di malam hari.
Sepertinya, proyek akhirat kami harus segera dilaksanakan. Hari Minggu nanti, rencananya, kami akan mengantar baju dan buku bekas yang masih ada di rumah kos-an Sil, dan mengenai donasi yang masih kupegang (padahal beberapa jam yang lalu aku baru membahas ini) mungkin akan kurancang untuk beberapa hal yang berhubungan dengan anak-anak di komunitas pemulung tersebut.
Kami tidak tahu apa yang dapat dilakukan untuk menaikkan taraf hidup mereka ke yang lebih baik, tapi semoga saja, usaha kecil kami tidak sia-sia, dan setidaknya bisa mencegah mereka merendahkan diri dengan meminta-minta, dan mengingatkan mereka bahwa agama itu tetap diperlukan meski kemiskinan begitu nyata melingkupi nadi kehidupan mereka. Sebuah kaum yang termaginalkan di sudut ibukota Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.
Pastilah engkau tahu, teman, kemiskinan mereka itu sungguh-sungguh tidak bercanda.
Semoga engkau pun mau bergabung bersama kami untuk kehidupan mereka yang lebih baik.
--------------------------
----------------------
---------------
NOTE:
Postingan ini juga sekaligus ajakan untuk berpartisipasi bersama kami, semisal teman-teman ingin bergabung, yang dapat berupa apa saja; tenaga, pikiran, donasi, dan sebagainya.
Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca postingan saya kali ini.
Salam
wah kak, salam kenal.
ReplyDeleteternyata baru tau di banda Aceh ada kehidupan yang begitu. Miris banget.
Saya udah bertahun2 dibanda aceh tp ga pernah tau.
iya, sama... baru tau juga malam itu, serasa bukan di banda aceh wkt itu...
ReplyDeleteAssalamualaikum, salam kenal ka..
ReplyDeleteInvestigasi hebat yang membuka cerita baru di Aceh, miris ka.. udah lama tinggal di Aceh baru sekarang tau kalau kota kecil tersebut juga menyimpan kemiskinan di sudutnya..
semoga nanti waktu pulang ke Aceh bisa ikut berpartisipasi..
Terima kasih cerita nya ka..
iya, sama2... :)
ReplyDeletemasukin koran aja kak...biar semua pada tau kalo banda aceh ngak seindah gembar gembornya...masih banyak yang harus dibenahi
ReplyDeleteah, good idea... betol sekali... (^^):b
ReplyDelete